Banda Aceh – DEMA Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar Raniry bersama Aceh Bergerak melakukan diskusi kritis tentang refleksi milad GAM (Gerakan Aceh Merdeka), diskusi ini diisi oleh Dr.Husaini M. Hasan dan Praktisi Hukum Yulfan, S.H, Jumat (8/12/2023) di Sekretariat Aceh Bergerak, Lambhuk, Banda Aceh.
Dr. Husaini Hasan M. Hasan yang bicara tentang pergerakan GAM dari perspektif historis dan Yulfan, S.H. fokus tentang lini masa produk hukum Jakarta untuk Aceh dan UUPA serta nasibnya dimasa hadapan. Diskusi kritis ini dipandu oleh Aliyul Himam sebagai Gubernur DEMA Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar Raniry, yang sesekali melihat dan mengkaji dari perspektif yang berbeda.
Abu Husaini Hasan yang pernah menjadi tangan kanan Wali Nanggroe Tgk. Hasan di Tiro, mengapresiasi kegiatan diskusi yang diikuti oleh pemuda dan mahasiswa Aceh, menurutnya diskusi ini sangat penting dan perlu diperbanyak, supaya Aceh tidak hanya tinggal nama, tinggal sejarah dan dilupakan oleh generasi muda.
Dalam penyampainya Abu Husaini Hasan juga turut membahas tentang catatan perjalanan hidupnya bersama Gerakan Aceh Merdeka, catatan itu tertuang secara terang di dalam buku “Dari Rimba Aceh ke Stockholm.”
“Buku ini untuk mengingatkan kembali dan sebagai fakta sejarah Aceh, bahwa Aceh dengan segala dinamikanya tidak boleh dilupakan oleh masyarakatnya,” Jelasnya.
” Menurutnya, perjuangan Aceh merdeka ini adalah cita-cita seluruh masyarakat Aceh. Dulu perjuangan dilakukan dengan dua cara yakni, Gerakan bersenjata dan Gerakan politik melalui Referendum, Referendum ditahun 1999 yang pernah diwacanakan itu merupakan keputusan dari hasil Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau. Namun sayangnya, wacana referendum ini tidak disahuti oleh Pemerintah Pusat, sehingga kesempatan untuk rakyat Aceh menentukan sikap, tidak terjadi,” jelas pria yang akrab di sapa Abu Husaini.
Sedangkan Yulfan yang merupakan praktisi hukum menjelaskan terkait perbedaan antara apa yang terjadi di Aceh dengan Rimor Leste.
“Referendum Aceh berbeda dengan Referendum Timor Leste, referendum di bagian timur Indonesia tersebut memang kehendak Pemerintah Pusat, sementara referendum Aceh adalah kehendak atau inisiasi rakyat jadi konsekuensi dan hasilnya berbeda,” ungkapnya yang juga aktif dalam Gerakan pelajar sekitar 22 tahun silam.
Menurutnya, sejarah regulasi Indonesia tentang Aceh, sejak tahun 1956 ketika Pemerintah menggabungkan Aceh menjadi bagian dari Sumatra Utara sampai Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 1 Tahun 2006, Regulasi tentang Aceh tidak terlepas dari proses revolusi.
“Hal ini terbukti dari momentum masing-masing peraturan dan konsideran disetiap peraturan perundang-undangan, sebagian besar lahir karena pertimbangan keamanan dan ketertiban, baru UUPA tahun 2006 yang mempertimbangkan peningkatan kesejahteraan sebagai dasar lahirnya Peraturan, ” katanya.
Dengan membaca konsideran, bisa dinilai bagaimana paradigma Pemerintah Pusat terhadap Aceh.
“Catatan lain, memang UUPA sendiri masih banyak kelemahan, seperti ketiadaan peraturan pelaksana dan seringnya pasal-pasal UUPA rontok ketika berhadapan dengan sistem hukum nasional,” tambah Yulfan.
“Merayakan lahirnya UUPA secara berlebihan juga keliru, karena secara teoritis undang-undang tersebut substansinya sama dengan UU sebelumnya, perbedaannya hanya pada 2 hal, soal Alokasi Dana Otonomi Khusus dan soal Partai Politik Lokal, lebih dari itu tidak jauh berbeda dengan UU Otsus Aceh No. 18 tahun 2001,” Pungkasnya dalam diskusi.
Aliyul Himam juga menanggapi bahwa, pergerakan Aceh yang dituangkan dalam buku Abu Husain Hasan sebagai sejarah ke-Aceh-an, namun buku ini bukan satu-satunya buku yang bisa dijadikan sebagai sumber informasi, karena sejarah sendiri diungkap dari banyak sudut pandang.
“Para pemuda, mahasiswa dan masyarakat Aceh agar tidak tenggelam dengan permainan sejarah, karena dalam sejarah sudah pasti memuat tentang mitos kesetiaan dan pengkhianatan ideologis, untuk itu perlu bagi generasi muda memperkuat basis pengetahuan, diskusi seperti ini salah satu caranya,” kata Gubernur DEMAF Syariah dan Hukum tersebut.
“Untuk kedepan DEMA Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar Raniry akan menggelar banyak diskusi lainnya sebagai bagian tanggung jawab moral mahasiswa sebagai generasi muda Aceh, soal pro kontra atas isu tertentu tidak masalah, yang penting kita berdiskusi untuk menutrisi jiwa kritis kami, “tambahnya. []