Banda Aceh – Ridha Mafdhul atau kerap disapa Gidong maju sebagai calon wakil walikota (cawawalkot) Banda Aceh pada pemilihan kepala daerah (PILKADA) 2024. Dalam bedah gagasan calon walikota dan wakil walikota yang diadakan oleh komunitas berucap, Gidong tawarkan konsep ekonomi kreatif, Sabtu (03/09/2024)
Dalam bedah gagasan ini, Gidong mengungkapkan bahwasanya di kota Banda Aceh terdapat banyak pemilih muda, data komisi independen pemilu (KIP) menyebutkan bahwasanya 102.000 dari 167.000 merupakan pemilih muda. Ia ingin menwujudkan lapangan pekerjaan yang diperoleh dari kreatifitas dan keahlian anak muda yang ada di Kota Banda Aceh.
Ia menawarkan konsep Hopespaces, di mana merupakan ruang untuk memberikan penunjang dan stimulus bagi anak muda agar termotivasi menjadi pengusaha. Sebagai ketua himpunan pengusaha muda (HIPMI) Aceh, Gidong mengatakan akan memanfaatkan kemampuan jaringanya untuk menyerap dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan lokal atau nasioanal yang bersedia membantu anak muda untuk menjadi pengusaha.
Menurutnya, menciptakan lapangan pekerjaan tidak harus mendatangkan investasi-investasi besar, melainkan memberikan stimulus-stimulus kecil untuk para pengusaha muda.
Konsep Hopespaces ini tuai masukan dari Imam Maulana selaku eksekutif dari generasi edukasi nanggroe Aceh lantaran pada 2016, terdapat forum kolaborasi komunitas yang didukung oleh pemerintah dengan sekretariat yang berada di Taman Sari.
“ Dalam forum kolaborasi ini terdapat 50 komunitas yang tergabung, dan serupa dengan konsep Hopespace yang bang Gidong tawarkan. Namun, hanya bertahan dua tahun saja. Apa hal yang bang Gidong yakini sehingga Hopespace ini tidak berujung seperti program sebelumnya,“ tanya Imam.
Menanggapi pertanyaan Imam, Gidong mengungkapkan bahwasanya banyak ruang-ruang strategis di Banda Aceh yang belum difungsikan, contohnya Taman Peunayong.
“Misal, kita pasang logo Bank Syariah Indonesia (BSI) di taman tersebut untuk keperluan branding mereka dan kita juga akan banyak di support dana CSR BSI, kita akan bangun simbiosis mutualisme itu,” ujar Gidong.
Gidong mengatakan mungkin selama ini forum yang pernah di bangun di taman sari menggunakan anggaran pendapatan dan belanja kabupaten (APBK), dengan kondisi anggaran pemerintah yang terbatas mungkin mengakibatakan forum tersebut tidak bertahan.
“Misalnya Taman Penayong kita pasang logo BSI dan membranding itu tanggung jawab mereka, jika itu tutup berarti BSI yang malu. Jadi Hopespaces ini selain menjadi tempat anak muda, juga menjadi branding awereness perusahaan masing-masing,” tutur Gidong.
Kata Gidong, kita mencoba membangun hubungan saling membutuhkan. Perusahaan perlu Banda Aceh dan juga sebaliknya. Jika kita memberikan program Hopespace ini ke perusahaan dan badan usaha milik negara (BUMN) yang ada di Banda Aceh, maka jika mereka tidak melanjutkan program ini tentunya dapat diintervensi oleh pemerintah.
“Karena jika Hopespace saja terbengkalai, bagaimana Banda Aceh bisa mempercayakan anggaran pada perusahaan tersebut,”jelasnya.
Dalam hal ini, Raudhatul Hasanahli selaku Koordinator Koalisi Anak Muda Demokrasi Resiliensi (Komudemres) yang merupakan komunitas yang fokus pada ketahanan isu demokrasi dan juga isu anak muda, menjabarkan realitas yang ada di Banda Aceh.
“Di Banda Aceh, masih banyak anak yang bekerja di luar batas jam kerja. Di atas jam sebelas hingga jam 12 malam, masih banyak anak-anak yang berjualan di warung kopi,” paparnya.
Raudha mengungkapkan hal ini merupakan bentuk ekspolitasi anak, di mana mempekerjakan anak di luar batas jam yang diwajarkan, lantaran di atas jam 10 malam merupakan waktu istrihat anak-anak.
Lanjutnya, jika di telusuri lebih dalam, anak -anak yang berjualan di malam hari tersebut bukan berasal dari kota Banda Aceh. Ia mengatakan hal ini akan menganggu perekonomian dan image kota Banda Aceh lantaran masih banyak anak-anak yang terlantar.
Kata Raudha, selain memikirkan industri kreatif pada taraf menengah ke atas, jika nantinya Gidong terpilih menjadi calon wakil walikota juga harus memikirkan tentang ekonomi ke bawah dan memperhatikan anak-anak yang ada di pinggiran kota Banda Aceh, di mana mereka belum memiliki akses pendidikan yang layak dan ekonomi yang memadai dari orangtua.
Selain itu, Gidong juga tuai masukan dari perwakilan Komudemres Afi, sebagai disabilitas, ia mengungkapkan bahwasanya fasilitas yang ada di Banda Aceh masih belum inklusi dan ramah disabilitas.
“Saya cuma mau bilang disabilitas juga punya hak untuk giat di komunitas, disabilitas saat ini masih dianggap kelompok yang di anggap tidak penting,” ujarnya.
Kenapa saya bilang begitu, karena saat pemilu, ketika saya mendatangi tempat pemungutan suara (TPS), saya arahkan untuk memilih dengan diwakili dengan keluarga saja. Tentu saya menolak itu, karena saya juga punya hak,” tambahnya.
Sfi mempertanyakan gagasan Gidong dalam mewujudkan kota Banda Aceh yang inklusi dan ramah disabililtas.
Dalam hal ini, Gidong mengungkapkan bahwasanya setiap kebutuhan disabilitas harus disampaikan oleh teman-teman disabilitas di Banda Aceh.
“Program apa yang teman-teman disabilitas butuhkan harus disampaikan, dan seorang pemimpin harus mendengarkan dan mewujudkan. Saya menganggap jika program-program pemerintah yang harus diutamakan untuk teman-teman disabilitas, haruslah program yang benar-benar dibutuhkan,” pungkasnya.(Oja)