AcehAsia.com | Jakarta – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam “Suara dari Tapak” menyerukan desakan agar revisi Undang-Undang Kehutanan (RUUK) benar-benar menjadi dasar dalam tata kelola hutan Indonesia. Mereka menuntut agar pemerintah menghentikan pendekatan kolonial dalam melihat hutan sebagai komoditas negara dan mulai mengakui hak-hak masyarakat adat serta penduduk lokal.
“UU Kehutanan harus berubah total. Klaim sepihak negara atas kawasan hutan telah mengabaikan prinsip keadilan dan mengorbankan hak masyarakat di tapak. Apalagi rata-rata kerusakan hutan sudah mencapai 689 ribu hektare per tahun,” ujar Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI dalam diskusi daring yang digelar Forest Watch Indonesia (FWI) pada Senin (09/06/2025).
Ia juga menyoroti tiga agenda penting dalam revisi UU No. 41 Tahun 1999. Menurutnya, pemerintah selama ini hanya menekankan aspek legalitas tanpa mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat adat. Ia menyebut penetapan kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan cacat karena tidak melalui proses penata batasan secara adil. Bahkan, anomali penetapan kawasan melonjak hingga 20 kali lipat dalam satu tahun terakhir.
Dalam diskusi tersebut juga hadir berbagai perwakilan dari daerah menguatkan kritik tersebut. Raden dari Walhi Kalimantan Selatan menyatakan bahwa Masyarakat Adat Meratus terus dikorbankan atas nama pembangunan karena paradigma kolonial belum diubah.
“Selama hutan dipandang milik negara, masyarakat adat akan terus dikorbankan. RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis,” tegas Raden.
Di Kalimantan Barat, A. Syukri dari Link-Ar Borneo menyebut konsesi Hutan Tanaman Industri hanyalah kebun monokultur yang bukan hutan sejati. Ia menekankan bahwa RUUK bukan sekadar regulasi, melainkan pertaruhan keadilan dan masa depan ekologis bangsa.
Darwis dari Green of Borneo Kalimantan Utara menambahkan bahwa tanpa pelaksanaan prinsip PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan), revisi UU hanya akan memperluas konflik dan kriminalisasi warga.
Pertentangan juga muncul dari ujung Barat Indonesia, Afifuddin anggota WALHI Aceh yang menyatakan bahwa jika RUUK tidak berpihak kepada rakyat dan ekosistem, maka yang lahir bukanlah solusi, melainkan legalisasi krisis. Sementara itu, Sulfianto dari Panah Papua mengecam pendekatan eksploitatif atas nama food estate yang disebut sebagai “penjajahan gaya baru.”
Dari Jambi, Oscar Anugrah mengingatkan bahwa narasi hijau jangan dijadikan dalih untuk menggusur kebun rakyat demi tambang ilegal. Defri Setiawan dari Walhi Gorontalo turut mengkritik proyek bioenergi yang meminggirkan masyarakat lokal. Di Maluku dan Maluku Utara, ancaman proyek biomassa dan proyek strategis nasional disebut menggusur ruang hidup serta identitas masyarakat di pulau-pulau kecil.
“RUUK harus hentikan bias pulau besar dan akui hak masyarakat adat sebagai penjaga hutan,” kata Zul dari KORA Maluku.
Jajaran akademisi seperti Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram juga turut membuka suara terkait hal tersebut. Ia menilai bahwa RUUK harus mampu memperbaiki struktur tata kelola dan menghentikan monopoli kekuasaan atas hutan. Sementara itu, Dessy Eko Prayitno dari Universitas Indonesia menggarisbawahi pentingnya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam setiap tahap pengukuhan, perizinan, hingga penegakan hukum kehutanan.