AcehAsia.com | Banda Aceh – Sebanyak 28 kelompok tani di Kecamatan Babahrot, Aceh Barat Daya menggugat Gubernur Aceh atas penerbitan Izin Usaha Perkebunan Budidaya kepada PT. Dua Perkasa Lestari (DPL), seluas 2.600 hektar.
Proses gugatan sudah memasuki tahap pembuktian, hari ini kelompok tani menghadirkan saksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Banda Aceh. Pada sidang sebelumnya , kelompok tani telah menyerahkan sebanyak 79 dokumen bukti. Sidang hari ini juga dihadiri oleh hampir seratusan anggota kelompok tani, termasuk perempuan untuk memberikan dukungan atas apa yang sedang diperjuangkan.
Lahan yang di sengketakan berlokasi di Desa Pante Cermin, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya. Para Kelompok Tani yang telah menguasai dan mengusahakan lahan sejak puluhan tahun yang lalu, akibat diterbitkan izin terhadap Lahan tersebut oleh Gubernur atas nama PT. Dua Perkasa Lestari, bidang- bidang tanah milik anggota Kelompok Tani yang diperuntukkan sebagai lahan perkebunan menjadi hilang dan tidak dapat di usahakan lagi, termaksud lahan sawit yang telah ditanami warga yang berasal dari bibit bantuan pemerintah Pusat juga ditebang oleh pihak perusahaan.
Perusahaan tanpa konsultasi atau ganti rugi dengan para kelompok tani, warga menilai penerbitan izin tersebut cacat prosedur dan mengabaikan keberatan masyarakat. Penerbitan izin dilakukan tanpa konsultasi publik yang memadai dan melanggar prinsip partisipasi masyarakat.
Gugatan ini diajukan oleh perwakilan warga melalui Perwakilan Kelompok Tani Yang tergabung kedalam 28 Kelompok Tani dan bernaung dalam sebuah Koperasi Sawira, Gugatan ini di ajukan oleh Kuasa Hukum kelompok Tani Muhammad Reza Maulana S.H dan Munardi. SHI, Advokat dan Penasehat Hukum pada Kantor MRM Law Firm.
Muhammad Nur, SH Direktur Forum Bangun Investasi Aceh (ForBINA) meminta kepada semua pihak termasuk pihak perusahaan untuk menghormati proses hukum yang sedang berlangsung.
“Apa yang dilakukan oleh kelompok tani ini bagian dari semangat memperbaiki tata kelola perkebunan di Aceh, juga berjalan lurus dengan semangat dan visi misi Muzakir Manaf – Fadhlullah (Mualem – Dek Fad) yang ingin melakukan evaluasi izin perkebunan secara menyeluruh”, kata M.Nur melalui rilisnya.
Tambahnya lagi, apa yang dilakukan kelompok tani hari ini, menjadi pintu masuk perbaikan tata kelola izin usaha perkebunan budidaya secara menyeluruh di Aceh.
“Persoalan konflik lahan sebagaimana yang sedang dialami oleh kelompok tani di Babahrot, juga banyak terjadi di daerah lain seperti di Aceh Selatan, Bireuen, Singkil, Subulussalam, Bireuen, Aceh Tamiang dan daerah lain yang memiliki perkebunan besar, khususnya perkebunan kelapa sawit, kita harus membuka mata melihat ini”, tambah M. Nur.
Dampak dari konflik cukup beragam, hilang wilayah kelola, kriminalisasi warga, konflik sosial, dan menjadi faktor penyebab kemiskinan di Aceh. Untuk itu, ForBINA berharap kepada semua masyarakat Aceh untuk mengawal dan memberikan dukungan kepada kelompok tani Babahrot yang sedang memperjuangkan haknya.
“Ini bukan persoalan anti investasi, tapi pembangunan Investasi sektor perkebunan jangan sampai menghilangkan hak – hak masyarakat lokal, merugikan perekonomian masyarakat, dan hilang sumber penghidupan rakyat”, tutupnya. (Ril)