Tebaran sampah di depan Auditorim Ali Hasyimi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry sore itu memang tak elok dipandang. Seusai kegiatan Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) UIN Ar-Raniry, sampah di halaman auditorium berhamburan. Untungnya, hembusan angin siang itu tidak terlalu kencang, sehingga hanya menyebabkan beberapa sampah plastik yang berterbangan.
Benda warna warni itu begitu saja ditinggalkan. Tergelatak beramai-ramai tanpa pemilik seolah tidak pernah berguna. Sayup-sayup, langkah kaki gerombolan Mahasiswa Baru (Maba) terdengar semakin menjauh. Pantas saja, kegiatan hari itu telah usai.
Tepat di sebelah parkiran yang terletak di gedung Auditorium, terdapat dua bak sampah besar, isinya tampak penuh hingga menjorok ke bagian luar. Di sana, sepasang suami istri tampak ligat bekerja memunguti botol dan kardus seolah dikejar oleh matahari yang hampir tenggelam berganti malam.
Tangan kananya, ditemani satu bilah silet sibuk melucutkan label dari botol-botol plastik di sana. Kurang dari tiga detik, goresan silet berhasil melepaskan setiap label pada botol. Mata mereka tajam, menyenter target dalam sekejap. Tampaknya, tak ada satu botol dan kardus pun yang bisa lolos dari pandangan mereka.
Amiruddin dan Nurjannah, sepasang suami istri yang biasa mengais botol bekas untuk dijual kembali. Acara besar seperti PBAK ini menjadi kesempatan bagi mereka mengumpulkan pundi-pundi rupiah, meski tidak sesederhana seperti yang difikirkan.
“Kami setiap hari di sini. Ambil-ambil botol, sampah air mineral gelas dan kardus di sini, selalu di sini,” ujar Nurjannah.
Sudah beberapa tahun. Kalau tidak ada acarapun kami ke sini, tiap hari kami di sini. Kalau lagi acara seperti ini dapat banyak,” tambahnya.
Banyak yang dimaksud bahkan tidak sampai lebih dari 10 kilogram. Itupun harus melalui proses yang lumayan panjang untuk menurkannya dengan rupiah.
“Kalau acara besar seperti ini kami dapat sekitar dua karung ini. Bersihnya sekitar 5 kilo, paling tinggi 10 kilo,” ujar lelaki paruh baya tersebut sambal menunjuk karung putih berukuran besar di becaknya.
Amiruddin mengungkapkan semua sampah yang mereka kumpulkan harus dibersihkan terlebih dahulu. Label pada sampah botol air mineral gelas harus di buang terlebih dahulu. Botol dan tutupnya pun harus dipisahkan di tempat yang berbeda.
“Lama dek kerjanya, harus kami simpan dulu untuk bersihkan ini. Setelah itu baru kami jual di tempat sampah,” ujar lelaki yang akrab disapa Amir itu.
Meskipun telah lama bekerja memilih dan memilah sampah, Amir dan Nurjannah tetap konsisten memakai masker saat bekerja. Hal ini dilakukan agar bau sampah tidak terlalu tercium.
Sampah tak selalu dapat diartikan sebagai barang yang tak bernilai. Di tengah-tengah tanah Serambi Mekkah ini, masih banyak masyarakat yang menjadikan sampah sebagai sumber pernghasilan untuk menyambung hidup di esok hari.
Banyaknya sampah, sisa acara PBAK 2024 ternyata membawa kebahagian bagi sepasang suami istri berdomisili Darusalam ini.
“Senang kalau banyak sampah begini, kerja lain pun kami tidak bisa. Jadi lebih banyak pendapatan. Sampai 80 ribu. Kalau lagi tidak ada acara, paling dapat 20 ribu. Walaupun begitu yang penting kerja halal, dari pada mencuri,” tutur Amir sambil terus membersihkan botol di tangannya.
Syukurnya, ternyata tidak semua orang dapat mengambil sampah di UIN Ar-Raniry. Amir dan Nurjannah ternyata telah mendapat izin dari satpam dan pengelola untuk dapat mengambil sampah setiap harinya.
“Malahan kami boleh ambil semua sampah yang ada di UIN. Kalau becak lain diberhentikan di pos satpam, karena waktu itu UIN pernah kehilangan besi. Hanya kami yang boleh masuk, makanya di becak kami ada logo UIN,” ujar pak Amir sambil menunjuk logo UIN di spanduk yang tertempel sempurna di becaknya, sambil tersenyum dengan bangga.
Ternyata, awal mula Amir diberikan izin untuk mengambil sampah di lingkup UIN karena keikhlasan hatinya dalam membantu seseorang yang tidak dikenalnya untuk membawa kursi ke UIN Ar-Raniry.
“Waktu itu hari Jumat, jadi ada yang minta bantu untuk bawa kursi ke UIN. Sayang ibu itu ditinggalkan mobil pick-up di persimpangan. Jadi saya bantu bawa kursi ke UIN menggunakan becak saya. Sesampainya di sini, saya juga bantu angkat kursi itu ke lantai 2,” kenang Amir.
Saat hendak pulang di hari itu, Amir melihat tumpukan kardus di sana. Ia pun meminta izin untuk mengambil kardus tersebut. Semenjak saat itu, pak diberikan izin untuk mengambil sampah di UIN.
“Ternyata, ibu yang saya bantu itu bos. Tapi saya tidak ingat lagi orangnya. Sudah tiga tahun yang lalu,” ujar pak Amir.
Tak disangka, ternyata Amir memiliki anak yang dulunya juga pernah mengemban pendidikan di UIN Ar-Raniry sebagai mahasiswa. Karena terkendala biaya, akhirnya anak Amir hanya bisa berkuliah beberapa semester saja dan akhirnya harus terhenti. Sejak saat itu, anaknya harus bekerja untuk membantu melanjutkan kehidupan mereka.
“Dulu anak saya di sini juga kuliah. Tapi berhenti, karena saya tidak punya biaya. Sekarang dia kerja di Hayana,” pungkas Amiruddin.
Meski demikian, Amir selalu memberikan nasihat kepada anaknya untuk terus belajar dengan siapapun dan di mana pun agar kelak bisa merubah nasib hidup mereka.(Oja)