AcehAsia.com| Jakarta – Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat menjadi suatu perwujudan nyata dari amanat konstitusi. Hal ini didorong dengan melekatnya hubungan antar masyarakat adat dengan wilayah tempat tinggal mereka. Pengesahan RUU ini tentunya akan menjadi pengesahan atas hak-hak yang masih memunculkan konflik dengan pemerintahan.
“RUU Masyarakat Adat adalah wujud konkret dari amanat konstitusi. Tanpa undang-undang ini, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih bersifat sektoral, lambat, diskriminatif, dan rawan menimbulkan konflik,” tegas Rina Mardiana, akademisi dari IPB University dalam Diskusi Publik “Hak-Hak Tradisional Masyarakat Adat dan Urgensinya terhadap Upaya Mendorong Pengesahan RUU Masyarakat Adat” pada Kamis (17/04 /2025).
Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, masyarakat adat memiliki cara tersendiri untuk menjaga wilayah mereka. Baik dari segi sistem hukum, sosial, bahkan ke ranah ekonomi. Rina menyebut hal tersebut juga berlaku atas hak tanah dan sumber daya alam yang menjadi “hak-hak tradisional” yang harusnya dipayungi oleh hukum.
Sejalan dengan Rina, Erwin selaku anggota dari Perkumpulan HuMa, mengungkapkan frasa “hak-hak tradisional” harusnya mampu menjadi bagian dari rujukan untuk hak-hak masyarakat adat yang disahkan dalam RUU.
“UU masyarakat Adat harus memperjelas hak-hak yang melekat di masyarakat adat, memastikan hak tersebut adalah HAM, dan menjadikan Negara bertanggung jawab untuk menghormati, memenuhi dan melindungi hak-hak tersebut”, tegas Erwin.
Namun kenyataannya, masih banyak masyarakat adat yang kehilangan akses terhadap sumber daya agragia. Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur menjadi contoh dari tidak adanya payung hukum yang melindungi hak masyarakat adat. Koppesda Sumba, Triawan Umbu Uli Mekahati mengaku sudah melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan perlindungan bagi masyarakat adat.
“Tanpa dukungan regulasi nasional, kami hanya disikapi sebagai gangguan pembangunan,” ujarnya.
Penolakan serupa juga muncul dari Masyarakat Adat di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Harnilis, salah satu Tokoh Adat Meratus, menegaskan bahwa rencana menjadikan wilayah adat mereka sebagai Taman Nasional justru mengancam keberlanjutan hidup masyarakat.
“Hutan bukan hanya tempat hidup kami, tapi bagian dari kehidupan itu sendiri. Jika diambil, kami kehilangan segalanya,” tegasnya.
Menurutnya masyarakat di Pegunungan Meratus telah lama menjaga dan mengelola sumber daya alam secara mandiri dan berkelanjutan. Keterlibatan laki-laki dan perempuan, tua dan muda, menjadi prinsip utama dalam menjaga budaya dan wilayah adat. Mereka menilai keberadaan negara semestinya bukan untuk menggantikan sistem yang sudah berjalan baik, melainkan memperkuatnya melalui perlindungan hukum.
Rencana konservasi sepihak ini dikhawatirkan akan mencederai hak-hak tradisional yang telah dijaga secara turun-temurun. Tanpa pengakuan melalui regulasi yang sah seperti RUU Masyarakat Adat, masyarakat seperti mereka akan terus menghadapi ancaman kehilangan ruang hidup.
“Wilayah adat adalah warisan leluhur dan masa depan anak cucu kami. Kami bukan menolak perlindungan lingkungan, kami menolak dikeluarkan dari tanah kami sendiri atas nama konservasi,” tambah Harnilis.
Pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan hanya sebatas legalitas, tapi juga keberlangsungan hidup. RUU ini diharapkan menjadi alat untuk menjamin bahwa masyarakat adat tetap menjadi pengelola dalam pemanfaatan wilayah adat mereka sendiri, bukan sekadar objek dari kebijakan negara.(Ril)