Acehasia.com | Banda Aceh – Air sejuk dari kaki gunung bersimbah ruah mengalir deras tanpa henti. Tak peduli setinggi apa matahari di atas kepala. Ditemani kicauan burung di balik pepohonan hijau, berderet menjulang tinggi memagari setiap tepi. Suara derai air terus berisik. Asalnya dari kaki gunung hijau yang tersusun rapi, tingginya menutupi setengah langit sehamparan.
Beberapa perahu angin mengapung di bendungan pertama, tak banyak, hanya dua atau tiga perahu. Bergerak pelan sesuai dayungan sang tuan. Selebihnya wisatawan dari berbagai usia. Tawaan sekelompok siswi dengan baju seragam sekolah menggema di atas sana, menepuk-nepuk air ke satu sama lain.
Air yang bersumber dari mata air pegunungan harus melewati bendungan bertangga, sebelum mengalir lepas mengikuti arus sungai dengan permukaan bebatuan berbagai ukuran. Melewati beberapa gerombol wisatawan yang memilih duduk di pinggir sungai dengan beralas karpet seadanya yang dilentangkan di atas batu bermuka datar.
Hari itu Sabtu, tak banyak wisatawan yang ke sana. Cuaca cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Butiran air dari langit mulai berjatuhan. Membasahi seluruh tempat di sana. Tak menunggu lama, pemilik karpet-karpet itu turun ke bawah.
Muhammad Zaini namanya, pedagang makanan ringan di wisata Brayeun. Zaini dan anak lelakinya yang berusia remaja bergegas melipat karpet kusam di tepi sungai, tadinya dibentang untuk pengunjung. Warnanya merah dan biru dan tampak memudar. Di bawah karpet ternyata masih ada lapisan terpal biru lusuh.
Kurang dari lima menit, karpet-karpet di lapak Zaini telah terlipat dan ditumpuk di atas meja beratap spanduk seadanya. Meskipun cuaca akhir-akhir ini sering hujan, tak membuat Zaini gusar.
“Air bendungan di sini akan meluap jika empat jam diguyur hujan tanpa henti. Banjirnya pun hanya disekitar sungai saja. Tidak meluap ke darat,” ujarnya saat ditanyain, Sabtu (25/1/2025).
Tahun ini, umurnya telah memasuki masa-masa senja, Zaini telah menginjak usia 64 tahun. Saban hari, ditemani Hasanah, istrinya menyiapkan dagangan ditempat ini. Berbagai makanan ringan disediakan di lapaknya. Mulai dari gorengan, mie instan, minuman botol hingga jajanan warung kecil-kecilan.
Zaini telah lama berjualan makanan ringan di sekitar tempat ini, tepatnya tahun 2008. Namun, baru dua tahun terakhir tempat ini sepi wisatawan. Tepatnya saat kejadian empat orang santri tergerus oleh arus sungai di sini. Karena sepi pengunjung, dagangan Zaini dan istri pun menurun.
“Mungkin karena muncul tempat-tempat wisata baru. Karena orang sudah biasa ke sini mungkin mau coba tempat lain. Kemarin saat covid semua wisata tutup, hanya Brayeun yang buka, waktu itu ramai sekali, ” cerita Zaini.
Dagangan Zaini terbilang cukup murah bagi tempat wisata. Tiap hari, Hasanah, Istri Zaini membuat gorengan dan dijual dengan harga Rp 1.000, tak naik meski tahun berganti.
“Kalau kita jual mahal tidak ada yang membeli, takutnya dikomen orang juga karena harga mahal kali,” Kata Hasanah sembari menggoreng bakwan.
Kata Hasanah, dahulu para pedagang di sini berani mengambil pinjaman modal usaha untuk berjualan di sini dan mengembalikanya satu hari setelah peminjaman. Namun, semenjak wisata ini sepi, beberapa pedagang berhenti berjualan di sini.
Siapa sangka, bahan-bahan dasar daganganya Hasanah dibeli di Pasar lambaro. Tiap bahan dasarnya habis, Hasanah harus menempuh 31.9 Km untuk sekedar berbelanja.
“Kalau belanja berangkat dari rumah pukul 05.30 ke pasar Lambaro, pukul 07.30 sudah di sini,” kata Hasanah.
Jarak tak mengahalangi mereka untuk mencari rezeki yang halal demi menghidupi enam orang anaknya. Tiap hari, ditemani derasnya arus sungai dan kicauan burung di wisata Brayeun. Pasangan suami istri ini terus berusaha mencari nafkah meskipun dihadapkan dengan laba tipis dan menurunya Wisatawan ke sini.(Oja)