Banda Aceh – Rajungan dewasa memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan, lantaran diminati masyarakat dalam dunia kuliner. Rajungan juga kerap menjadi bahan dasar makanan, contohnya dimsum. Hal ini dituturkan langsung oleh Edy Miswar selaku dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan(FKP) Univeristas Syah Kuala (USK) saat sosilisasi pengelolaan dan penangan hasil tangkapan rajungan pada nelayan desa Alue Naga, kota Banda Aceh. Senin (29/07/2024).
Minat yang tinggi terhadap rajungan memicu nelayan untuk memperoleh hasil tangkapan secara besar-besaran. Dari ukuran yang besar hingga kecil. Tanpa disadari, langkah ini dapat mengurangi sumberdaya rajungan yang ada di laut Alue Naga.
“ Kalau untuk punah mungkin tidak, karena rajungan sendiri cepat berkembang biak, hanya saja sumber daya rajungan yang akan berkurang” tutur Edy.
Dalam sosialisasi ini, Edy menjelaskan pentingnya nelayan dalam menyeleksi rajungan yang akan di jual, karena nantinya anak rajungan akan menjadi lebih besar dan bernilai jual lebih tinggi. Sehingga dapat meningkatkan ekomi nelayan.
“ Anak rajungan juga belum ada isi, jadi lebih baik dilepaskan ke laut dan ditangkap kembali saat sudah besar,”katanya.
Selain anak rajungan, Edy juga menjelaskan bahwasanya rajungan yang bertelur baiknya kembali dilepas ke laut. Karena dapat menghasilakn ribuan anak rajungan.
“ Oleh sebab itu, pada bubu harus diberikan celas-celah pelolosan bagi rajunagan kecil. Agar hanya rajungan besar tersisa dalam bubu,”papar Edy.
Disisi lain, salah satu nelayan desa Alue Naga Sukardi menyebutkan harga rajungan mencapai 25 ribu per kilo.
“ Kami sering menemukan rajungan jenis bintang, dan kami jual dengan harga Rp.20.000-Rp.25.000, bergantung daya tangkap,” kata Sukardi.
Sukardi menjelaskan jika mereka sedang dibanjiri hasil tangkapan rajungan maka harga jual Rp.20.000 perkilo, namun jika sedikit Rp.25.000 perkilo. Rajungan hasil tangkapan nelayan Alue Naga biasanya di jual di jembatan Desa Alue Naga.
Lebih lanjut, Sukardi menjelaskan bahwasanya nelayan meletakkan bubu pada kedalaman air 10 hingga 15 meter dan diletakkan setiap pukul 17.00 sore
“ Kami meletakkan bubu pukul lima sore, sekitar jam tujuh pagi kami tarik kembali,” katanya.
Selain Rajungan Bintang, nelayan Alue Naga juga kerap memanen beberapa jenis ikan dan udang, seperti ikan gembong, ikan Rambeu (kuwe), tali pinggang.
Dalam hal ini, Sukardi mengungkapkan bahwasanya rajungan tidak dapat ditangkap saat musim-musim tertentu
“ Kami membagi menjadi 2 musim, saat Musim barat, angin cenderung kencang sehingga menghalangi aktivitas kami dalam mecari rajungan, karena kami jalan untuk meletakkan bubu dari pinggir pantai. Namun, saat musim timur, air stabil dan kami dapat meletakkan bubu di laut,“
Sukardi mengatakan saat musim barat, ia mencari kepiting di muara. Namun, air tenang muara membuat tangkapanya tidak banya
“ Di muara biasanya tidak banyak kepiting, saat cuaca buruk, kami para nelayan mencari alternatif lain, dengan bekerja di darat. Berkerja apa yang memungkinkan,” pungkas Sukardi.(Oja)