Banda Aceh – Melansir dari data Bappenas, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan BPS tahun 2023, Aceh dalam Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) menduduki peringkat ke-22 nasional dengan perolehan nilai 53,33. Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Reza Idria menyebut pada perolehan nilai tersebut masih terdapat permasalahan dalam pengelolaan kebudayaan di Pemerintah Aceh.
“Ketika kita melihat indeks pembangunan kebudayaan Aceh itu, berbanding lurus dengan indeks tingkat pembangunan tradisional berada di posisi yang ke-22. Ini ada pertanyaan, ini ada masalah dengan bagaimana tata kelola kita, bagaimana cara kita untuk melihat fungsi dari nilai dan benda budaya yang dimiliki Aceh,” tuturnya ketika menjadi narasumber dalam Dialog Keacehan, di Auditorium Ali Hasymi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Senin (04/09/2024).
Reza mengatakan kurangnya pemahaman terhadap nilai dan fungsi kebudayaan menjadi ancaman dicabutnya sebuah situs budaya yang sudah diakui, seperti Tarian Saman Aceh. Ia menambahkan pengakuan dari UNESCO tidak bersifat abadi, hal tersebut akan sewaktu-waktu dicabut jika tidak dikelola dengan baik.
“Apabila sampai saat ini misalnya kita tidak lagi memahami nilai dan fungsi dari saman itu di dalam masyarakat Aceh, bisa jadi pada suatu hari pengakuan UNESCO terhadap karya saman Aceh itu dicabut,” jelasnya.
Reza merasa perlunya kerja sama semua pihak untuk mulai berfokus pada strategi yang terukur. Masyarakat perlu memahami bahwa setiap barang atau benda atau cagar budaya di Aceh memiliki nilai keberlanjutan. Kebudayaan tidak hanya dipandang sebagai seni dan tradisi, tetapi juga menjadi bagian dalam pembangunan masyarakat.
“Kita harus bertanya lagi, apakah pemerintah ke depan di tingkat Aceh ini memiliki visi ke depan bagaimana benda-benda ini, bagaimana struktur-struktur ini, bagaimana cagar budaya yang kita miliki ini bisa menjadi bagian dari masyarakat. Saya pikir Aceh belum memiliki target atau strategi terukur bagaimana menaikkan IPK Aceh,” katanya.(Rina)