Banda Aceh – Berdasarkan data yang dirilis oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak Aceh (DP3A) terlapor 1.098 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Aceh sepanjangan 2023. Diantaranya sebanyak 634 kasus terjadi pada anak dan 464 kasus terjadi kepada perempuan, Minggu (28/07/2024).
Meutia Juliana, S.STP, M.Si selaku kepala DP3A dalam pernyataannya menyampaikan meskipun di satu sisi data ini mengundang kemirisan, lantaran terdapat peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya meskipun tidak signifikan. Namun, ada satu sisi yang menggembirakan datang dari arah yang sama.
“ Memang miris melihat data ini. Namun, data ini juga menjukkan tingginya kesadaran masyarakat atas haknya sehingga berhasil berdiri di atas keterpurukan untuk berani melapor,” tutur Meutia.
Ketua Pusat Studi Dan Gender (PSGA) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniy. Dr Nashriah, S.Ag., M.A. dalam hal ini meyebutkan kampus yang baik bukanya kampus yang tidak memiliki kasus.
“ Kampus yang baik bukanlah kampus yang tidak ada kasus, melainkan kampus yang baik adalah kampus yang bijak dalam menangani kampus. Kasus pelecahan dan kekerasan dimana-mana ada, selagi ada orang itu pasti ada. Hanya saja tidak ada keberanian melapor,” ujar Nasriah.
Nasriah menjelaskan bahwasanya pihaknya selalu mendorong agar korban berani melapor, agar memutuskan rantai pelecehan oleh pelaku.
“ Jika korban tidak berani speak-up, secara tidak langsung ia membantu pelaku. korban yang berani untuk membela haknya sebenarnya pahlawan bagi orang lain. Karena, setidaknya pelecehan itu tidak terjadi pada ornglain lagi,” katanya.
Dalam hal ini, Nashriah menyebutkan bahwasanya kekerasan yang kerap dialami oleh mahasiswa adalah kekerasan dalam berpacaran.
“Ketika dalam hubungan pecaran, laki-laki biasanya menganggap pacarnya adalah haknya. Hal ini menyebabkan, laki-laki menuntut laporan ketika pacarnya akan melakukan sesuatu,”
Masalahnya, lajut nasriah, ketika ia merasa bahwasanya itu pacaranya, ia berhak untuk melakukan apapun terhadap perempuan tanpa persetujuan dua pihak.
Nashrian juga berpesan, ketika memiliki hubungan dengan laki-laki. Perempuan harus mempertegas hubungan tersebut, jangan sampai laki-laki seolah memiliki hak untuk mengatur hidup perempuan.
Berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang di sepakati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 November 1948, ada 30 hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir dan tidak dapat di ganggu gugat;
1. Terlahir bebas dan mendapat perlakuan sama
2. Hak tanpa ada diskriminasi
3. Hak untuk hidup
4. Hak tanpa perbudakan
5. Bebas dari penyikasaan dan perlakuan yang merendahkan
6. Hak untuk pengakuan sebagai probadi di hadapan hukum
7. Hak atas kesetaraan di hadapan hukum
8. Kebebasan dilindungi hukum
9. Kebebeasan dari penangkapan sewenang-wenang dan pengasingan
10. Hak untuk audiensi publik
11. Ha untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah
12. Hak privasi
13. Hak untuk kebebasan bergerak
14. Hak untuk mencari tempat yang aman untuk hidup
15. Hak berkebangsaan
16. Hak menikah dan punya keluarga
17. Hak memiliki properti
18. Kebebasan beragama dan berfikir
19. Kebebasan berekpresi
20. Hak untuk majelis umum
21. Hak untuk berdemokrasi
22. Hak jaminan sosial
23. Hak untuk bekerja sebagai pekerja
24. Hak untuk beristirahat dan bersantai
25. Makanan dan tempat tinggal
26. Hak atas pendidikan
27. Hak berpartisipasi dalam kehidupan budaya bermasyarakat
28. Hak atas dunia yang adil
29. Tanggung jawab
30. Kebebasan dari berbagai gangguan-gangguan laianya
Di sisi lain, Riswati, selaku Direktur eksekutif Flower Aceh juga turut memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu perempuan dan anak di Aceh. Sebagai informasi, Flower merupakan suatu lembaga yang memfasilitasi layanan pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Juga, terkareditasi menjadi lembaga pemantauan pemilu oleh bawaslu Aceh dengan fokus pemantauan terkait pemilu inklusi dan kekerasan berbasis gender dalam pemilu.
Riswa menyebutkan bahwasanya awal dari kekerasan adalah relasi hubungan yang tidak simbang, dimana pihak yang memiliki relasi yang lebih rendah menjadi korban.
“ Baik itu di dalam rumah tangga atau hubungan pacaran, kalau dominanya laki-laki pasti si perempuan mengalami kekerasan baik fisik atau psikis,” kata Riswa.
Kata Riswa, mahasiswa harus menyadari bahwasanya kita punya hak atas tubuh, hak kesehatan mental, seksual, dan reproduksi. Sehingga, ketika ada pihak yang melanggar hak-hak tersebut, kita menyadari bahwasanya kita berhak mendapatkan keamanan. Dan jika ada pihak yang menganggu keamanan harus segera dilaporkan.
“ Siapapun yang melakukan kekerasan, bahkan suami saja bisa dilaporkan. apa bukan siapa-siapa, Hanya pacar” pungkasnya.
Bedasarkan undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS), ada 9 pembagian jenis-jenis kekerasan seksual. Terdiri dari:
1. pelecehan seksual nonfisik
2. pelecehan seksual fisik
3. pemaksaan kontrasepsi
4. pemaksaan sterilisasi
5. pemaksaan perkawinan
6. penyiksaan seksual
7. eksploitasi seksual
8. perbudakan seksual
9. kekerasan seksual berbasis elektronik.
Upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari tindakan kekerasan merupakan tanggung jawab semua pihak, tidak cukup hanya di laksanakan oleh pemerintah saja.
Oleh sebab itu, bagi siapapun yang melihat, mendengar dan mengalami kekerasan dan pelecehan harap melapor pada hottline dibawah ini.
1.Dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Aceh (DP3A) (08111-129-129) atau (0811-6808-875)
2.Pusat studi gender dan anak (PSGA) universitas islam negeri (UIN) Ar-Raniry (0852-7608-9797) atau (0831-9970-9780)
3.Flower Aceh (0853-7276-2783)
Mari ikut berperan dalam mencegah dan melaporkan jika terjadi kasus pelanggaran hak perempuan dan anak disekitarmu. Layanan di atas tentunnya bersifat gratis dan memberikan penyembuhan dan pemenuhan hak-hak korban.(Oja)