Budaya benar-benar merupakan cara sekelompok masyarakat hidup dan mengekspresikan identitasnya. Budaya tidak hanya dijadikan faktor pembeda yang membuat tiap kebudayaan menjadi unik. Namun, budaya juga menjadi medium yang mempersatukan berbagai macam bentuk, sifat, dan sikap umat manusia dari seluruh dunia.
Dalam perjalanan kali ini, penulis dan tim berkesempatan untuk menelusuri sudut-sudut kota di Jerman. Melihat secara langsung peradaban, kebudayaan, serta kebiasaan masyarakat lokal yang terus dipraktikkan tanpa henti.
Sebagai orang asing yang baru pertama kali menginjakkan kaki di benua biru, kami kerap kali menemukan berbagai hal berbeda yang dilakukan oleh warga lokal di Jerman. Hal-hal kecil seperti langkah kaki yang terasa cepat, porsi makanan yang cukup besar, maupun sikap enggan mereka untuk sekedar basa basi dalam sebuah pertemuan, tak luput dari observasi kami.
Namun, ada satu kebiasaan unik, yang membuat penulis mengernyitkan mata ketika pertama kali menyaksikannya. Yaitu, ketika orang Jerman mulai “menggebrak” meja tiap kali sebuah kelas ataupun pertemuan berakhir.
Pada saat itu, penulis dan tim sedang berdiskusi aktif dengan Prof. Arndt Graf dan Dr. Patrick Keilbart yang sangat fasih berbahasa Indonesia, serta beberapa mahasiswa internasional lainnya di Gothe University Frankfurt. Diskusi berjalan cukup hangat di mana kami membahas berbagai isu yang terkait dengan Bahasa dan Kebudayaan di daerah Asia Tenggara.
Menjelang akhir diskusi, Prof. Graf, selaku Professor yang memimpin sesi diskusi, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada semua peserta diskusi dan menyampaikan bahwa diskusi akan dilanjutkan setelah makan siang.
Tepat setelah Prof. Graf berhenti berbicara, penulis kaget sekaligus bingung ketika mendengar suara dentuman keras yang bersumber dari segala penjuru kelas. Saat melihat sekitar, ternyata semua orang kompak mengetuk mejanya masing-masing dengan suara cukup keras sehingga membuat suasana menjadi riyuh.
Jelas, kepala saya dipenuhi ribuan pertanyaan akan hal mengejutkan ini. Mengapa mereka tiba-tiba menggebrak meja? Apa tujuannya? Apakah itu salah satu bentuk protes terhadap Universitas ataupun Pemerintah seperti yang biasa mahasiswa di Indonesia lakukan? Tapi kenapa tidak demo saja? Saat itu, sungguh saya sudah memiliki berbagai macam prasangka buruk terhadap kejadian itu.
Saat berjalan ke arah mensa (kantin), dengan kepala penuh tanda tanya, saya menghampiri Dr. Patrick Keilbart untuk mendapatkan jawaban atas peristiwa mengejutkan tadi. Saya bertanya “Dr. Patrick, saya bingung, kenapa semua orang tadi menggebrak meja saat kelas selesai? Apakah mereka marah sama kami?”
Seketika, Dr. Patrick tertawa mendengar pertanyaan saya. Menurutnya, pertanyaan saya sangat lucu. Sedangkan saya masih memasang wajah kebingungan mencari jawaban.
“Tadi itu, kami bukan menggebrak meja, Arsyi. Tapi, kami mengetuk-ngetuk meja untuk menandakan bahwa sebuah pertemuan telah selesai sekaligus mengucapkan “good luck” untuk semua orang yang hadir. Budaya ini disebut toi-toi-toi dan cukup populer bagi orang Jerman”.
Ya, tidak heran sih ketika Dr. Patrick bilang populer. Professor saya, Prof. Saiful Akmal, yang merupakan alumni Jerman saja langsung paham dan mengikuti budaya toi-toi-toi tadi.
Setelah mendengar jawaban melegakan itu, saya dan Dr. Patrick malah lanjut berdiskusi tentang banyak hal mengenai budaya dari negara kami masing-masing. Rasa ingin tahu saya mengenai budaya unik tadi seakan menjadi gerbang pembuka diskusi dan pemersatu bagi kami, walaupun berasal dari kebudayaan yang berbeda-beda.
Dengan ini, saya selalu percaya bahwa perbedaan budaya merupakan anugerah dari Allah SWT yang membuat kita terus ingin tahu dan belajar mengenai berbagai kebudayaan umat manusia dari seluruh penjuru dunia.[]
Penulis: Teuku M. ‘Arsyi Maturidi merupakan Peserta Studi Visit DAAD ke Jerman dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh.