Aceh Asia | Lhoksumawe-Dalam balutan rasa haru dan penghormatan, Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Jamaluddin, menghadiri peringatan 26 tahun tragedi berdarah Simpang KKA, Sabtu lalu. Momen itu menjadi pengingat pahit atas luka mendalam yang pernah dialami masyarakat Aceh, sekaligus momentum untuk menyalakan semangat perdamaian yang terus dijaga sejak berakhirnya konflik.
Bertempat di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, peringatan ini tak hanya menjadi pengingat sejarah, tetapi juga wadah refleksi bersama. Di hadapan keluarga korban, tokoh masyarakat, dan perwakilan pemerintah, Jamaluddin menyampaikan pesan penting: perdamaian adalah harga yang harus dijaga dengan komitmen dan kerja sama semua pihak.
“Peringatan ini mengingatkan kita akan pengorbanan besar masyarakat Aceh. BRA berkomitmen untuk terus mendukung rekonsiliasi dan memastikan para korban mendapatkan hak mereka,” ujarnya dengan penuh kesungguhan.
Acara berlangsung sederhana namun khidmat, diawali dengan orasi singkat di lokasi tragedi, doa bersama, hingga berbagai momen yang menyatukan semua pihak dalam harapan dan doa untuk masa depan yang lebih baik.
Langkah Kecil, Dampak Besar
Namun, bukan hanya pidato yang menjadi sorotan hari itu. Selepas acara, Jamaluddin menyempatkan diri mengunjungi rumah seorang janda korban konflik di Kecamatan Dewantara. Sosok janda ini adalah simbol nyata dari luka konflik Aceh yang masih terasa hingga kini.
Dalam kunjungan tersebut, Jamaluddin berbincang panjang. Ia mendengarkan cerita perjuangan seorang ibu yang harus membesarkan tujuh anak sendirian di tengah keterbatasan.
“Saya ingin memastikan bahwa hak para korban konflik diperjuangkan. Kita semua punya tanggung jawab untuk memberikan perhatian lebih kepada mereka,” kata Jamaluddin sambil menyerahkan bantuan simbolis berupa kebutuhan pokok.
Melangkah Bersama Menuju Pemulihan
Kunjungan itu mendapat apresiasi luas dari masyarakat setempat. Bagi mereka, aksi nyata ini adalah bukti bahwa pemerintah dan BRA benar-benar hadir untuk mendampingi mereka yang masih merasakan dampak konflik.
BRA, di bawah kepemimpinan Jamaluddin, terus menjalankan berbagai program pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan rehabilitasi sosial. Semua itu bertujuan menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan para korban dan memastikan perdamaian Aceh bertahan hingga generasi mendatang.
Tragedi Simpang KKA adalah pengingat bahwa perdamaian memiliki harga yang mahal. Namun, melalui langkah-langkah kecil seperti yang dilakukan Ketua BRA, harapan itu terus dinyalakan—sebuah bukti bahwa luka masa lalu bisa dijahit dengan kebersamaan dan keadilan.