AcehAsia.com | Banda Aceh – Memorial penjajahan pada masa penjajahan Belanda menjadi ingatan yang terus dikenang oleh masyarakat Aceh sampai saat ini. Sejarah tersebut melanglang buana dikenang dari generasi ke generasi dan dijadikan budaya yang turun temurun warisan wujud jati diri sebagai “Bangsa Teuleubeh.” Tentu tradisi, agama Islam, politik, pendidikan, dan historiografi membawa dampak besar bagi anak muda Aceh dalam mewariskan sejarah dari indatunya.
“History, Memory, Commemoration: Aceh” sebuah film dokumenter berdurasi 65 menit mencoba memperlihatkan memori masyarakat dalam mengenang sejarah kolonial. Film yang disutradai penggiat budaya Mirwan Andan dan dua seniman, Iswanto Hartono serta Hans Van Hoewelingen ini mengangkat pandangan dari peneliti, akademisi, seniman, guru hingga para anak muda.
Terpantik dari fenomena masyarakat Belanda yang mulai cenderung mencoba mencari kembali sejarah penjajahan di negara-negara jajahannya. Hans Van Hoewelingen terpacu untuk melihat keutuhan catatan perjalanan Belanda dari versi daerah yang pernah ditaklukkan.
“Tentang sejarah penjajahan Indonesia, di sana cenderung dilihat hanya secara tunggal bahwa ini sejarah versi Indonesia, tetapi di Indonesia sendiri itu sangat kompleks. Ada Aceh dan Sulawesi dan wilayah-wilayah lain,” jelasnya ketika mengisi Pemutaran Film dan Diskusi Film “History, Memory, Commemoration: Aceh” yang digelar oleh Aceh Documentary pada Minggu (19/01/2025) di Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Aceh.
Hans menambahkan tidak hanya untuk mengenal sejarahnya saja, ia juga mengamati bagaimana memori-memori tersebut dianut dan dikonsumsi oleh masyarakat. Ini menjadi fundamental pembuatan film yang ia dan para tim inisiasikan dalam mengarungi daratan nusantara.
“Jadi dari inilah kemudian menjadi dasar di balik film ini tentang tidak hanya tentang sejarah, tetapi bagaimana orang melihat sejarah, bagaimana orang memaknai sejarah, dan sikap mereka atas sejarah,” ungkap Hans.
Dalam diskusi tersebut, juga turut dihadirkan pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Fuadi Mardhatillah dari Kontras Aceh. Ia turut memberikan pandangannya terhadap pengungkapan kebenaran tentang sejarah di Aceh itu. Ia menyentil buku dari Hilmar Farid yang berbicara tentang perang suara yang digaungkan bangsa colonial pada masyarakat jajahannya.
“Bagaimana sebenarnya kalau orang penjajah kolonial itu enggak datang untuk mengambil sumber daya alam saja, tapi mereka membentuk peradaban. Mereka punya satu cara pikir bahwa mereka ini yang berperadaban di barat, makanya mereka datang ke tempat kita, melihat kita orang-orang buas yang harus diperadabkan versi kolonial itu,” jelasnya.
Belanda dengan sikap superiornya membuat jejak sejarah yang dibaca dari generasi ke generasi sesuai dengan versi mereka. Mereka mampu mengarahkan kiblat sejarah untuk berpusat pada catatan bangsa tersebut, baik dari segi bahasa hingga masuk ke dalam narasi sejarah.
“Akhirnya hal ini terungkap setidaknya dalam film. Ketika Reja bilang, I hate colonialism. Ya, karena mereka menentukan sejarah yang tunggal versi mereka,” tuturnya.
Tak hanya itu Fuadi juga mengungkapkan orang Aceh sendiri masih sangat susah dalam menelusuri sejarah versi mereka. Dalam film tersebut disebutkan kecenderungan masyarakat Aceh pada zaman penjajahan adalah menulis syair dan hikayat. Sejarah itu kemudian hanya diperdengarkan saja lewat mulut ke mulut.
“Kita enggak punya sejarah tulis ya tapi kita punya sejarah lisan walaupun enggak ideal untuk detail-detail seperti apa yang dituliskan Snouck tentang keseharian orang Aceh,” katanya.
Rumoh Geudong dan Jambo Keupok menjadi salah satu kejadian yang dimemorialisasikan orang Aceh ke dalam bentuk doa-doa bersama di pesantren. Pembela-pembelaan terhadap para korban tetap disuarakan lewat lagu-lagu dan syair yang dikumandangkan ke generasi-generasi penerus.
“Setiap tahun orang itu bikin memorialisasi bentuknya bukan tugu tapi berdoa di pesantren. Ternyata Aceh punya kebiasaan seperti itu. Untuk membangkitkan semangat aku rasa itu penting, lewat lagu, lewat cerpen mungkin, sastra-sastra yang ditulis sastrawan Aceh,” ungkapnya.
Tidak hanya Fuadi, Widia Munira seorang guru sejarah dari sekolah SMA 3 Banda Aceh juga turut memberikan pandangannya dalam diskusi tersebut. Ia sebagai pengajar merasa terbantu dengan adanya film tersebut mengingat ada beberapa memorial di Aceh yang dihilangkan. Tentu hal tersebut menjadi kendala baginya ketika harus memperlihatkan bukti sejarah pada anak didiknya.
“Dan dari saya sebagai pendidik gurunya, sebagai catatan historisnya Aceh kan itu tidak tertulis, di mana sih sebenarnya monumen itu ada. Nah monumen itu ada sebenarnya harus kita memorikan,” ucapnya.
Lebih lanjut Widia merasa dampak dari masa kolonial tidak semuanya membawa pengaruh negatif. Ada sisi positif yang sekarang bisa dirasakan diantaranya adalah rasa nasionalisme.
“Nasionalismenya kita tentang edukasi yang kita rasakan sekarang yang dimana mungkin pengajar dulu sejarah sama sekarang untuk literasi sejarahnya itu harus diperbanyak, dibantu oleh penulis-penulis, sejarawan yang akan membantu untuk menjadi media bahan ajaran sekolah,” ujar Widia.(Rin)