AcehAsia.com | Banda Aceh – Seiring berjalannya waktu, perkembangan teknologi melaju pesat menembus kemustahilan. Dampak negatif dan positif pun berhamburan muncul dari produk-produk kecerdasan buatan saat ini. Setiap segi kehidupan tak elak dipaksa harus beradaptasi demi tidak tergerus atau bahkan terhanyut dalam pengaruh penggunaan AI (Artifical Intelegent).
Sejak merebak di tahun 2020, AI semakin eksis menampakkan dirinya. Tak ayal, hampir setiap aspek sekarang sudah mampu dikerjakan si otak mesin ini. Namun di tengah kepopulerannya, beberapa hal menjadi perhatian yang perlu diseriuskan.
Literasi menjadi hal yang digadang-gadang perlu mendapat perhatian khusus di tengah era cepatnya informasi berlalu-lalang di layar kaca. Persiapan untuk memasuki eranya AI bisa dilakukan dengan meliterasi diri sendiri agar tidak mudah mengonsumsi mentah-mentah apa yang disediakan oleh terknologi tersebut.
“Memang, tadi saya bisa melihat bahwa literasi itu penting. Makanya kenapa saya pikir, cara untuk mempersiapkan diri itu adalah meliterasi. Meliterasi diri kita, bahwa AI gak apa-apa itu. Dan meliterasi diri sendiri. Bahwa kita gak seperti orang-orang yang tinggal ambil copas, kemudian kita up,” jelas Nani Afrida, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia saat mengisi Seminar Nasional “Media Masa Depan Bersama AI” pada Selasa (21/09/2025) di Aula Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Aceh.
Penggunaan AI yang semakin umum di kalangan masyarakat dan keburu-buruan untuk mengikuti kemajuan zaman, membuat kita juga tak acuh terhadap sejauh mana kita mampu bertanggung jawab dalam pemanfaatan teknologi tersebut.
“Yang paling penting adalah literasi pengetahuan kita tentang AI. Sejauh mana kita bisa paham dan bertanggung jawab tentang penggunaan AI,” kata Nani Afrida,
Nani turut setuju pada penggunaan kecerdasan buatan di dunia media massa memang tidak bisa dielakkan, Namun ia menekankan sebelum menggunakan AI, perlunya pengecekan kembali hasil yang dihasilkan oleh produk tersebut.
“Bahwa ketika kita menggunakan AI, kita pastikan kita mengerti dulu isunya,” tegasnya,
Sebagai seorang jurnalis, pemeriksaan berulang perlu dilakukan, mengingat pekerjaan tersebut dilakukan dengan mengumpulkan data sekaligus menyajikan data untuk masyarakat. Nani mengungkapkan hal itu menjadi perbedaan yang sangat terlihat dengan konten creator yang kadang kurang dalam melakukan verifikasi data yang didapatkan dari AI.
“Itu namanya kita ngecek diri sendiri. Karena kita sebagai jurnalis, cek satu, cek dua. Cek, double cek, triple cek, kalau perlu empat kali cek. Itulah perbedaan kita sama konten kreator, yang mereka enggak melakukan itu,” jelasnya.
Lebih lanjut Ketua Umum AJI Indonesia itu mengungkapkan kekuatan terbesar AI berasal dari data yang dihimpun, baik dari internet maupun dari pengguna yang memberikan datanya ketika menggunakan data yang dari setiap media di internet. Ia mengungkapkan AI hanya sebuah mesin yang hanya mampu menghimpun semua data yang tersedia di internet, namun tidak mampu mencari data selayaknya pekerjaan para pencari berita. Oleh karena itu, Nani mengaku kebutuhan reporter sebagai pencari data di lapangan masih sangat diperlukan.
“Saya tahu ada satu media yang berpikir saat ini, yang dia itu gak butuh lagi redaktur. Dia gak butuh lagi pemimpin redaksi. Tapi dia masih butuh reporter. Kenapa? Karena reporter turun lapangan. Reporter yang mau mencoba. Reporter yang jadi garda informasi,” ucapnya.(Rin)