Acehasia.com | Banda Aceh – Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) mengungkapkan dugaan korupsi dalam pengadaan alat peraga dan praktik sekolah (mobile/meubelair) yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh pada Tahun Anggaran 2019. Berdasarkan analisis terhadap dokumen-dokumen yang ada, MaTA menilai pengadaan tersebut sarat dengan masalah. Diharapkan, dinas pendidikan tidak melakukan pembayaran terhadap pelaksanaan pekerjaan yang masih memerlukan kepastian hukum.
Dalam rilis yang diterima acehasia.com, Koordinator MaTA, Alfian menjelaskan bahwa saat itu pernah mengingatkan pihak pemerintah Aceh agar paket tersebut tidak di bayar sebelum ada audit atas pengadaan tersebut. hal ini dikarenakan terjadinya konflik kepentingan dilevel Gubernur.
“Kemudian Pada tahun 2020, Kepala Dinas Pendidikan Aceh, mengajukan permohonan kepada Sekda Aceh terkait tunggakan pembayaran pekerjaan pengadaan yang jumlahnya mencapai 95 milyar lebih. Saat itu, Kadis Pendidikan meminta agar tunggakan tersebut segera dibayarkan, kemungkinan kuat Kadis pendidikan saat itu mendapatkan tekanan dari Gubernur saat itu,” ungkap Alfian.
Dia juga menambahkan bahwa ada fakta lainnya, Berdasarkan Pergub Nomor 38 Tahun 2020 yang mengatur perubahan atas Peraturan Gubernur Aceh Nomor 80 Tahun 2019 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun Anggaran 2020 (refocusing), terdapat peningkatan signifikan pada belanja modal untuk pengadaan alat peraga atau praktik sekolah. Dalam APBA 2020 semula hanya dialokasikan Rp 1,2 miliar, namun pada penjabaran APBA Perubahan 2020 jumlahnya meningkat menjadi Rp 103,7 miliar. Penambahan anggaran ini diduga kuat akan digunakan untuk membayar paket pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu. Namun pada saat itu tunggakan ini batal dibayarkan.
“Total nilai kontrak dari seluruh paket pekerjaan tersebut mencapai Rp33.789.498.000, namun pembayaran belum dilakukan hingga akhir 2019, diantaranya, (1)Pengadaan alat media publikasi dan sosialisasi informasi digital SMA, (2)Pengadaan alat media pembelajaran multimedia interaktif SMA, (3)Pengadaan alat media pembelajaran multimedia interaktif SMK, (4)Pengadaan server UNBK SMA/SMK,” tambah Koordinator MaTA.
Dalam rilis nya, MaTA menduga bahwa meskipun pekerjaan tersebut belum selesai tepat waktu pada saat itu, Dinas Pendidikan Aceh berencana tetap membayar kepada penyedia. Dugaan ini diperkuat oleh Laporan Review Inspektorat Aceh. MaTA menduga hasil review tersebut akan digunakan untuk membayar pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu tersebut. Dalam hal ini, MaTA juga mempertanyakan motif Inspektorat dalam melakukan review, seharusnya mareka melakukan audit terlebih dahulu dan akibat kebijakan inspektorat dapat merugikan keuangan Aceh terhadap pengadaan alat peraga dan praktik sekolah tahun 2019 yang tidak semata-mata untuk dapat dilakukan pembayaran, harusnya Inspektorat juga dapat melakukan review temuan-temuan lainnya untuk direkomendasikan.
Padahal sesuai dengan ketentuan dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2018, Dinas Pendidikan Aceh seharusnya tidak melakukan pembayaran kepada penyedia yang gagal menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.
MaTA memintak kepada Pj Gubernur Aceh untuk memastikan tidak ada pembayaran atas pengadaan tersebut, kebijakan tersebut sepertinya sudah direncanakan oleh pihak yang merasa ini lahan pendapat bagi oknum bermental korup.
Kemudian kepada kepala Dinas Pendidikan Aceh untuk Tidak melakukan pembayaran kepada penyedia yang tidak memenuhi kewajibannya hingga masa kontrak berakhir dan kami memintak secara tegas untuk ada audit investigasi atas pengadaan tersebut sehingga pemerintah Aceh memiliki tata kelola atas kebijakan anggaran dan dapat berpedoman pada peraturan yang melarang pembayaran atas pekerjaan yang melewati tahun anggaran.
MaTA mendesak Kejati Aceh untuk dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas motif review oleh Inspektorat Aceh sehingga anggaran tersebut harus di bayar. Sehingga ada kepastian hukum atas rencana atau niat tersebut.
“Saat ini, MaTA menilai jajaran pemerintah Aceh masih sangat rawan atas potensi potensi korupsi yang terjadi dan ini menjadi catatan penting untuk Gubernur terpilih nantinya untuk dalam membersihkan birokrasi yang korup, sehingga pembangunan Aceh kedepan lebih efektif dan berkualitas,” Tutup Alfian.