Banda Aceh- Pembentukan kembali Panitia Khusus (Pansus) tentang sektor mineral dan batubara oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) menuai sorotan tajam dari berbagai pihak, salah satunya dari Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina), Kamis (2/01/2024).
Ketua Forbina, Muhammad Nur menyatakan bahwa pembentukan Pansus ini perlu dipertanyakan, terutama terkait dengan tujuannya yang dinilai tidak jelas dan berpotensi menimbulkan kegaduhan di tengah dunia investasi Aceh. Menurutnya, DPRA harus lebih bijak dan objektif dalam menyikapi sektor tambang, khususnya yang melibatkan perusahaan seperti MIFA, yang menjadi salah satu sasaran Pansus tersebut.
“Penundaan rapat paripurna DPRA dengan nomor 100.2.1.4/1874 tertanggal 25 September 2024 lalu, serta pembentukan Pansus yang sudah ada sejak 2024, semakin mempertegas tanda tanya besar di kalangan publik. Untuk apa semua ini dilakukan? Apakah ini karena ada ‘kemarahan’ terhadap MIFA setelah beberapa anggota DPRA ditolak masuk ke lokasi perusahaan itu, atau ada hal lain yang lebih substansial?” tanya Muhammad Nur dalam pernyataannya kepada wartawan.
Muhammad Nur juga mempertanyakan apakah DPRA sedang berusaha “memburu” sesuatu dalam tata kelola sektor tambang yang lebih besar, seperti perubahan posisi pemodal asing dengan pemodal lokal. “Kita tahu bahwa sekitar 40 persen pekerja di MIFA adalah mantan kombatan GAM. Apakah ini terkait dengan keinginan untuk menggantikan pemodal asing dengan pemodal lokal? Atau ada tujuan lain yang lebih tersembunyi dalam pembentukan Pansus ini? Ini semua harus dijawab agar publik tidak dibuat bingung,” tegasnya.
Forbina mengkritik keras sikap DPRA yang menurutnya seringkali terjebak dalam permainan politik tukar toke, yang dapat berujung pada kebingungan di kalangan masyarakat. Meskipun mereka menghargai semangat DPRA untuk melanjutkan pembahasan mengenai tata kelola sektor pertambangan, Forbina menekankan bahwa pembentukan Pansus harus memiliki tujuan yang jelas dan objektif.
“Pansus ini harus menjadi model baru dalam perbaikan tata kelola tambang, bukan ajang balas dendam politik. DPRA harus ingat, ini bukan soal politik kekuasaan atau persaingan antar elit, tapi tentang bagaimana kita mengelola sumber daya alam Aceh demi kesejahteraan rakyat,” lanjut Muhammad Nur.
Ia mengingatkan agar Ketua DPRA dan anggota dewan lainnya tidak terjebak dalam perdebatan yang justru dapat merusak solidaritas dan efektivitas Dewan.
Muhammad Nur juga meminta agar Pansus ini benar-benar dapat memangkas arogansi dan kerakusan korporasi yang selama ini sering mengeksploitasi kekayaan alam Aceh tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
“Jika tujuan Pansus ini adalah untuk memperbaiki tata kelola, maka ini adalah langkah yang sangat baik. Pansus harus bisa merekomendasikan pengawasan yang lebih ketat dan pembinaan yang tepat untuk perusahaan tambang yang ada di Aceh,” ungkapnya.
Menurut Muhammad Nur, jika Pansus ini dijalankan dengan baik, maka sektor tambang bisa menjadi pilar penting dalam mendukung visi dan misi Pemerintah Aceh, khususnya dalam menciptakan lapangan pekerjaan dan menurunkan angka pengangguran, seperti yang digariskan dalam visi Mualem, Gubernur Aceh terpilih.
“Sektor pertambangan memiliki potensi besar untuk meningkatkan perekonomian Aceh, namun tanpa pengelolaan yang baik, dampaknya justru bisa merugikan masyarakat dan lingkungan,” lanjutnya.
Kendati demikian, Forbina juga mengingatkan bahwa hasil dari Pansus akan memiliki dampak luas bagi iklim investasi di Aceh. Jika Pansus dijalankan dengan pendekatan politik yang salah, hal itu akan berisiko memperburuk citra Aceh di mata investor, yang pada gilirannya akan memperburuk kondisi ekonomi daerah.
“Apabila ada bacaan dendam politik yang diselipkan dalam pembahasan ini, maka akan ada kerugian besar bagi dunia investasi di Aceh. Publik harus diberikan kejelasan tujuan dan arah dari Pansus ini, agar tidak ada spekulasi yang merugikan,” tegas Muhammad Nur.
Forbina juga menambahkan bahwa meskipun Pansus dapat memberikan rekomendasi, peran selanjutnya ada pada kebijakan eksekutif. “Rekomendasi Pansus hanya akan menjadi wacana jika tidak dilanjutkan dengan kebijakan yang tepat oleh Pejabat Gubernur (Pj Gubernur) atau Gubernur terpilih. Dalam hal ini, Pj Gubernur dan pemerintah daerah harus berhati-hati dalam menindaklanjuti hasil Pansus, mengingat sektor pertambangan adalah sektor yang sangat sensitif dan memiliki dampak jangka panjang,” ujarnya.
Menurutnya, meskipun Pansus memiliki peran dalam merekomendasikan langkah-langkah yang perlu diambil, pelaksanaan kebijakan yang tepat akan sangat bergantung pada kebijakan Pemerintah Aceh, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Presiden.
“Pansus hanya bisa memberikan rekomendasi, tetapi yang menentukan kebijakan selanjutnya adalah Pemerintah Aceh dan otoritas terkait lainnya. Kami berharap semua pihak bisa bekerja sama untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik,” tandasnya.
Sebagai penutup, Muhammad Nur mengingatkan agar pembentukan Pansus ini tidak hanya menjadi ajang untuk memenuhi kepentingan politik sesaat, tetapi harus benar-benar berfokus pada perbaikan tata kelola sektor tambang Aceh yang lebih berkelanjutan.
“Kami berharap Pansus ini menjadi alat untuk memperbaiki tata kelola sektor tambang yang lebih adil dan transparan, bukan menjadi alat untuk memanjakan segelintir pihak yang ingin mengambil keuntungan pribadi,” ujar Ketua Forbina itu.
Dengan peringatan dan saran tersebut, Forbina berharap DPRA dan Pemerintah Aceh dapat bergerak dengan lebih bijak dalam mengelola potensi sektor pertambangan, demi kesejahteraan masyarakat Aceh yang lebih baik di masa depan.