Acehasia.com – Fakultas Syari’ah dan Hukum bersama AMAN ASSEMBLY melaksanakan konferensi internasional yang dihadiri oleh 150 perwakilan dari 20 negara di Dunia. Kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium Ali Hasyim UIN Ar-Raniry dan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry selama tiga hari 15-17 Oktober.
Pada kesempatan ini Ketua DEMA FSH Aliyul Himam memberikan orasi dan dialog di depan forum internasional dengan tema Reinventing Nonviolent Civil Resistance: Youth Peace Movement and Technology, Senin (16/10/2023).
Dalam penyampainnya gubernur fakultas syari’ah dan hukum ini mengangkat judul tentang OVERSEE movements, peace and human rights violations and how to repair them (mengawasi gerakan, perdamaian dan pelanggaran hak asasi manusia serta cara memperbaikinya).
“Memorialization can restore the victim’s self-esteem, then if there is recognition from the state and the perpetrator, then the victim can forgive the perpetrator’s actions. Forgive but don’t forget, not forget to forgive,” ujar Aliyul.
Jka diartikan dalam bahasa Indonesia, memorialisasi dapat memulihkan harga diri korban, lalu ada pengakuan negara dan pelaku, maka korban bisa memaafkan tindakan pelaku. Mamaafkan bukan berarti melupakan, bukan melupakan untuk memaafkan.
“Kejadian Rumoh Geudong, Simpang KKA, Jamboe Kupok, pembakaran di kantor KNPII Banda Aceh dan lain-lain adalah kejahatan perang yang masih kita tuntut keadilan,” tambahnya.
Menurut Aliyul, pelaksanaan MoU Helsingki seharusnya menjadi perdamaian yang bisa rasakan semua orang, tetapi hari ini poin-poinnya tidak dilaksanakan secara keseluruhan dan masih banyak korban atau keluarga yang tidak bersalah menerima permintaan maaf.
”Kami menuntut Pemerintah Aceh perjuangkan hal yang belum terselesaikan, sedih ketika ada kemunafikan di pemerintah setelah pertumpuan darah, namun aceh tetap menjadi salah satu provinsi termiskin,” ujarnya.[]