AcehAsia.com | Banda Aceh – Tim Kuasa Hukum dari terlapor berinisial MN dalam perkara dugaan penyekapan dan kekerasan seksual terhadap seorang santriwati di Banda Aceh, menyampaikan hak jawabnya. Pernyataan tersebut, menyikapi maraknya pemberitaan yang dinilai mengarah pada penghakiman sepihak terhadap klien mereka, yang masih berstatus anak di bawah umur.
Dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Acehasia.com pada Selasa, 6 Mei 2025, hak jawab ini ditandatangani oleh empat anggota Tim Hukum Terlapor, yakni Yulfan, S.H., M.H., Reza Hendra Putra, S.H., M.H., Irfan Maulana, S.H., dan Ryean Gusfianda, S.H., dari Kantor Hukum Yulfan dan Rekan, Banda Aceh.
Pihaknya, menegaskan bahwa informasi yang tersebar di sejumlah media selama beberapa hari terakhir berpotensi mencederai prinsip keadilan dan perlindungan anak.
“Rilis dan hak jawab ini tidak dimaksudkan untuk menyudutkan siapa pun, melainkan untuk menjaga keseimbangan informasi dan mendorong semua pihak, khususnya penegak hukum dan masyarakat, untuk tetap memegang prinsip keadilan yang berpihak pada kebenaran dan perlindungan anak,” kata selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Terlapor, Yulfan dalam keterangannya.
Tim kuasa hukum menyayangkan narasi sepihak yang disampaikan ke media oleh kuasa hukum pelapor. Mereka menilai, penyampaian materi dugaan secara terbuka berpotensi memperparah trauma anak, baik pelapor maupun terlapor.
“Mengungkapkan dugaan tindakan sensitif di ruang publik bukan hanya tidak etis, tetapi juga dapat memperburuk trauma dan mempermalukan mereka di tengah lingkungan sosialnya,” katanya.
Tim hukum juga menyoroti pentingnya media bersikap lebih bijak dalam menyampaikan informasi yang melibatkan anak di bawah umur, serta menyerukan agar proses hukum tidak dikompromikan oleh tekanan opini publik.
Tim Kuasa Hukum menyampaikan beberapa klarifikasi penting yaitu:
1. Tuduhan Sodomi: Mereka membantah tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa jika memang ada visum yang menunjukkan luka, maka hal itu harus dibuktikan secara sah dalam proses hukum. Mereka juga mempertanyakan validitas dan waktu kejadian luka tersebut.
2. Tuduhan Penyekapan: Disebutkan bahwa pelapor sendiri yang mengatur waktu dan titik penjemputan. “Komunikasi dan ajakan dilakukan secara sadar oleh pelapor sendiri,” tegas mereka.
3. Pemaksaan dan Kekerasan: Berdasarkan bukti komunikasi digital, pihak terlapor menyatakan bahwa hubungan antara kedua remaja terjadi atas dasar suka sama suka. Mereka menilai, tuduhan jarimah pemerkosaan dalam Qanun Jinayat tidak terpenuhi karena tidak ada unsur paksaan, kekerasan, atau tipu muslihat.
4. Prosedur Visum: Tim kuasa hukum mempersoalkan visum yang dilakukan sebelum laporan resmi ke polisi. Mereka mengutip Pasal 133 KUHAP, yang menyatakan bahwa visum et repertum harus dilakukan atas permintaan penyidik.
Tim hukum mengajak semua pihak melihat kasus ini sebagai fenomena sosial yang lebih luas, mencakup pergaulan remaja, seks pranikah, dan pendidikan karakter. Mereka mengkritik penggunaan istilah “(maaf) disodomi” dalam pemberitaan karena dianggap memperburuk trauma dan tidak sesuai dengan etika jurnalistik.
“Kasus ini mencerminkan persoalan sosial seperti lemahnya sistem pendidikan karakter, longgarnya pengawasan keluarga, dan kegagalan institusi sosial dalam membentuk nalar moral remaja,” katanya.
Tim Kuasa Hukum MN juga menyampaikan bahwa sebelum laporan dibuat, ada permintaan dari pihak keluarga pelapor agar pihak terlapor memberikan dukungan finansial dalam jumlah besar.
“Kami tidak menuduh, namun kami mengajak publik merenung: apakah perkara yang menyangkut anak sebaiknya diarahkan pada pendekatan transaksional? Dapatkah luka batin dan masa depan anak diselesaikan dengan uang?”
Mereka menilai bahwa penyelesaian perkara anak seharusnya dilakukan secara manusiawi dan bermartabat, bukan dengan pendekatan kompromi yang mengaburkan makna perlindungan anak.
Tim kuasa hukum mengingatkan, proses hukum harus berjalan dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan objektivitas. Mereka mengajak semua pihak, termasuk pemerintah, MPU, dan Dinas Pendidikan, untuk turun tangan mencari solusi yang lebih edukatif bagi anak-anak di Aceh.
“Kami menegaskan bahwa hukum bukanlah ajang untuk meraih popularitas atau sensasi. Kami mengajak semua pihak untuk menjadikan kasus ini sebagai refleksi bersama, fokus pada upaya edukasi dan pencegahan,” pungkas Yulfan.(Ril)