Banda Aceh – Peristiwa bentrokan warga dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset BP Batam di Pulau Rempang menjadi sorotan berbagai kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh penolakan pembangunan Rempang Eco-City.
Solidaritas Aktivis 98 Aceh yang tergabung dalam Forum Semangat 98 Aceh dan Farmidia Aceh menyampaikan sikap dan pokok pikiran terhadap kasus Rempang.
Menurut Koordinator Solidaritas Aktivis 98 Aceh Cut Asmaul Husna, berdasarkan UUD RI 1945 Pasal 27 ayat 2 menyebutkan setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
“Masyarakat Rempang berhak untuk hidup dengan damai, aman dan sejahtera serta diperlakukan adil di tanah kelahiran, mengutamakan kepentingan masyarakat lebih penting dengan memperhatikan hak asasi manusia,” katanya dalam pers rilis yang dikirimkan kepada Acehasia.com, Senin (25/9/2023).
Selain itu, pihaknya juga menyampaikan bahwa pemerintah perlu mengkaji ulang visi pembangunan Indonesia baru, yang berkeadilan dan bermartabat, menghargai dan menempatkan suku asli atau masyarakat adat sebagai sumber kearifan bangsa.
“Bukan sebaliknya menjadikan sumber masalah dalam pembangunan bangsa. Indonesia juga akan maju tanpa harus mengusir suku asli. Jadikan suku asli bagian dari aktor pembangunan,” tegasnya.
Kebijakan pembangunan pro investasi asing dinilain seolah-olah Indonesia masih hidup di era kolonial Belanda sebelum merdeka. “Indonesia sudah Merdeka dan seharusnya mewujudkan keadilan sosial bagi semua golongan masyarakat”.
Untuk itu, Asmaul Husna berharap dan berupaya mendorong gerakan solidaritas untuk bersatu membela kepentingan masyarakat.
“Optimalkan konten-konten yang menyadarkan dan membuka mata terkait pentingnya kekuatan masyarakat di grassroots, jaga tanah air, investor masuk sebagai mitra masyarakat bukan sebagai raja yang bisa mengusir tanpa keadilan,” jelasnya. (Hz)