Banda Aceh – Junalis tempati tingkat pertama korban kasus pelanggaran kebebasan berekspresi dan berpendapat, dengan tipologi tindakan yang beragam, Mulai dari kriminalisasi hingga penghalangan penyampaian pendapat, hal ini di tuturkan langsung oleh Anis Hidayah selaku Komisioner Kominisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (KOMNAS HAM RI) pada diskusi publik dan deseminasi standar norma dan pengaturan tentang hak atas kebebasan berpendapat dan bereskpresi yang di adakan di Fakultas Syariah Dah Hukum, Rabu (08/08/2024).
Setelah jurnalis, korban-korban ancaman kebebasan berkespresi dan berpendapat juga menimpa individu, akademisi, mahasiswa, aktivis, media pemberitaan dan influencer.
Dalam sistem Good Governance sesungguhnya kedaulatan berada di tangan rakyat, sehingga kritik dan masukan dari masyarakat sangat penting dalam perumusan kebijakan pemerintah. Namun, mirisnya Survey publik KOMNAS HAM RI 2020 menyebutkan 36,2% warga negara indonesia merasa tidak bebas dan tidak aman dalam menyampaikan pendapat dan ekspresi.
“Ini membahayakan, hak berpendapat dan berekspresi dijamin dalam konstitusi sejak kita merdeka. Tetapi 36,2% warga negara Indonesia merasa tidak aman dalam menyampaikan pendapat,” tutur Anis.
Dalam hal ini Anis menyebutkan bahwasanya ada beberapa cakupan kebebasan berpendapat berekspresi yang ditafsirkan oleh KOMNAS HAM, Yaitu kebebasan berpendapat, berekspresi, pidato dan ekspresi politik, ekspresi keagamaan, ekspresi seni, ekspresi simbolis, hak atas perlindungan data pribadi, kebebasan Pers, hak atas internet, hak atas informasi publik, kebebasan akademik, hak keistimewaan.
Dalam konteks kebebasan Pers, Anis mengatakan media merupakan bagian penting bagi demokrasi.
“Saya kira hanya dengan media, kita bisa menjembatani isu-isu yang penting untuk direspon oleh negara dan masyarakat, namun kerja jurnalistik untuk mendapatkan akses informasi sering tidak mendapatkan perlindungan. Terutama isu-isu yang menjadi atensi publik,“ ujar Anis
Berdasarkan kajian dewan Pers pada tahun 2023 meyebutkan 67% jurnalis perempuan itu mengalami atau berpotensi mengalami tindak pidana kekerasan seksual, terutama dalam bentuk kekerasan verbal.
Kata Anis, kekerasan seksual ini menimpa jurnalis perempuan dalam kerja-kerja mereka untuk mendapatkan akses informasi pemberitaan sehari-hari. betapa sesungguhnya perlindungan terhadap jurnalis juga masih mengalami tantangan.
Lebih lanjut, Anis mengatakan jurnalis merupakan bagian pembela HAM, dimana bekerja untuk memberikan pemenuhan hak-hak atas informasi kepada masyarakat.
Sejalan dengan hal, tersebut Jesse Adam selaku program Manager Human Right Working Group (HRGW) menyebutkan runtuhnya rezim orde baru ditandai dengan lahirnya undang-undang HAM dan PERS.
Undang- undang ini sebetulnya dijadikan monumen dan penginggat terhadapat komitmen indonesia untuk kembali menjadi negara yang menjunjung tinggi demokrasi. Namun sayangnya hampir 26 tahun, situasi HAM dan PERS terus dicederakan dan mengalami kemunduran.
“Data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyebutkan pada rentang waktu 2019-2021 terlapor 251 kasus kekerasan terhadap Jurnalis, dimana bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah fisik, intimidasi, penghalangan aktivitas jurnalistik, kriminasisai dan serangan sipil,” tutur Jesse.
Lebih lanjut Jesse menyebutkan berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia terdapat peningkatan kasus kekerasan terhadap Jurnalis tiap tahunya.
Diantaranya pada 2021 terdapat 41 kasus, pada 2022 terdapat 61 kasus diamana 15 diantaranya dilakukan oleh pihak kepolisian. Namun, pada 2023 turun menjadi 49 kasus kekerasan.
Ada dua pasal HAM yang paling fundamental
1. Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) : setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas wilayah
2. Pasal 19 ICCPR: setiap orang berhak atas kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tulisan atau dalam bentuk cetakan, karya seni, atau melalui media lain sesuai pilihanya
“Dalam pasal tersebut dapat dilihat bahwasanya kita berhak untuk berpendapat dan mencari informasi, disanalah letak peran kebebasan PERS “ ujar Jesse.
Pada 27 September 2012 dewan HAM perserikatan bangsa-bangsa (PBB) untuk pertama kali menyoroti kebebasan pers di Indonesia dan untuk pertama kali menegaskan pentingnya keselamatan jurnalis sebagai unsur fundamental kebebasan ekspresi.
“Dalam forum tersebut, dewan HAM menyerukan kepada negara-negara di dunia agar mengembangkan lingkungan yang aman bagi para jurnallis yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan pekerjaan secara independen,”
Dalam hal ini, Jesse menyampaikan ketika ada praktik-praktik yang di lakukan yang kemudian mencederai kebebasan pers dan mencederai kebebasan berpendapat dan bereskpresi merupakan bentuk pelanggaran hukum.
Jesse juga menjabarkan bentuk bentuk kekerasan terhadap jurnalis, diantaranya
1. Ancaman
2. Teror
3. Kekerasan digital
4. Kekerasan fisik
5. Kekerasan psikologis
6. Perampasan dan perusakan alat kerja
7. Kekerasan verbal
8. Kekerasan berbasis gender
9. Penangnkapan dan pelaporan pidana
10. Penyensoran
11. Pembunuhan
12. Tidak perdata dengan tujuan menghancurkan perusahaan pers
13. Upaya-upaya lain yang dilakukan untuk menghalangi tugas Pers jurnalis untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan mengolah dan menyampaikan informasi.(Oja)