AcehAsia.com | Banda Aceh – Pemerintah pusat melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tengah mendorong percepatan pembentukan 80.000 unit Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih di seluruh Indonesia. Di Aceh, program ini dilaksanakan dengan pendekatan syariah sesuai kekhususan daerah dan regulasi keuangan berbasis syariah.
Muhammad Furqan atau sering dikenal dengan nama Cak Fur, seorang notaris yang aktif mendampingi pembentukan koperasi di Banda Aceh dan Aceh Besar, menyampaikan pandangan, harapan, sekaligus peluang mengenai koperasi ini. Berikut wawancara lengkapnya bersama AcehAsia.com:
Bagaimana Anda melihat rencana pembentukan percepatan Koperasi Merah Putih ini?
Kalau kita bicara koperasi, kita sedang bicara tentang sejarah perjuangan ekonomi rakyat. Bahkan sebelum negara ini berdiri, koperasi sudah lahir sebagai alat melawan para rentenir di masyarakat. Koperasi pertama lahir di Purwakarta, diprakarsai oleh seorang Raden, dan menjadi embrio koperasi Indonesia. Pada 12 Juli 1947 di Tasikmalaya, diselenggarakan kongres koperasi pertama yang melahirkan Sentral Organisasi Koperasi Indonesia (SOKI), dipelopori oleh Bung Hatta. Beliau kemudian ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Di Indonesia, koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992, yang awalnya mensyaratkan minimal 20 orang pendiri. Namun, regulasi ini kemudian dipermudah, cukup 9 orang sudah bisa mendirikan koperasi. Di masa lalu, Koperasi Unit Desa (KUD) sangat aktif, termasuk di Aceh dengan pusatnya bernama Puskud. Gedung Puskud masih ada di Banda Aceh dan menyimpan sejarah penting peran koperasi dalam ekonomi rakyat, terutama dalam komoditas seperti cengkeh.
Bagaimana penerapan koperasi Merah Putih di Aceh?
Sesuai dengan kekhususan Aceh, tidak ada istilah kelurahan, sehingga yang berlaku adalah Koperasi Desa Merah Putih. Aceh memiliki sekitar 6.497 desa yang diarahkan untuk mendirikan koperasi berbasis desa. Karena koperasi ini berlandaskan simpan pinjam, maka acuannya di Aceh harus mengikuti Kanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Nomor 11 Tahun 2018.
Apakah sistem koperasi ini sejalan dengan regulasi LKS?
Sejalan. Dalam proses pendiriannya, koperasi dimulai dengan Musyawarah Desa Khusus (musdesus). Perangkat gampong hadir untuk menetapkan susunan pengurus yang terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, serta dua Wakil Ketua: bidang usaha dan anggota. Ada juga badan pengawas yang berasal dari tokoh masyarakat, bukan perangkat gampong. Di Aceh, pengawas ini bisa disebut Keuchik, Datuk, Reje, atau Penghulu, tergantung daerahnya. Selain itu, koperasi Merah Putih di Aceh wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah bersertifikat dari DSN-MUI. Tanpa pengawas syariah bersertifikat, koperasi tidak bisa didaftarkan melalui notaris.
Bagaimana cara koperasi ini dikelola agar berjalan baik?
Dasar koperasi adalah rapat anggota. Ada simpanan pokok, simpanan wajib, dan dana HIPAA. Simpanan pokok biasanya Rp100.000, simpanan wajib per bulan Rp10.000 atau Rp5.000. Dana HIPAA berasal dari sumbangan lain. Dana ini menjadi modal awal koperasi. Nantinya koperasi juga akan memperoleh kredit lunak minimal Rp3 juta per anggota dari Himpunan Bank Negara. Pemerintah menetapkan bahwa pembentukan musdesus harus selesai pada Mei, dan akta badan hukum koperasi pada Juni. Jika tidak, dana desa tahun berjalan tidak akan bisa dicairkan.
Apa saja usaha yang wajib ada dalam koperasi ini?
Ada tujuh unit usaha yang wajib masuk dalam akta koperasi berdasarkan KBLI:
1. Kantor koperasi
2. Minimarket desa
3. Unit simpan pinjam berbasis LKS
4. Klinik desa
5. Apotek desa
6. Gudang logistik
7. Kendaraan logistik desa
Setiap koperasi harus merancang unit usaha tersebut sebagai bagian dari struktur badan hukum yang terintegrasi.
Apakah koperasi bisa menjalankan unit usaha lain di luar 7 usaha tersebut?
Sangat memungkinkan, tergantung potensi desa masing-masing. Jika desa memiliki potensi seperti galena, bisa masuk ke dalam KBLI tambahan. Tapi untuk izin seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP), itu harus diproses di tingkat provinsi, bukan kabupaten.
Apakah koperasi ini bisa memiliki saham di perusahaan lain?
Bisa. Seperti koperasi dosen di ARC Unsyiah yang sudah memiliki usaha terkait nilam, koperasi Merah Putih bisa memiliki saham di PT bila struktur bisnisnya berkembang. Ini bisa membuka cakupan usaha koperasi yang lebih luas.
Bagaimana kolaborasi koperasi dengan usaha desa yang sudah tumbuh?
Koperasi Merah Putih bisa bermitra dengan UMKM desa dan koperasi lain yang sudah ada. Kolaborasi ini akan memperkuat ekosistem ekonomi desa.
Apa yang perlu diperhatikan agar koperasi ini tidak gagal seperti KUD dahulu?
Pertama, legalitas. Pastikan semua dokumen dan struktur organisasi sah. Kedua, SDM. Pengurus harus dipilih dari orang-orang yang berkompeten, bukan semata karena kedekatan personal. Profesionalisme sangat menentukan. Saya yakin, jika dikawal dengan baik, koperasi ini akan hidup dan bisa menopang ekonomi Aceh setelah berakhirnya Otsus 2027.
Bagaimana respons masyarakat Aceh terhadap koperasi ini?
Memang masih ada trauma terhadap koperasi lama. Tapi kita harus adil. Banyak koperasi karyawan yang sukses, seperti di Telkom, PLN, bahkan mereka punya aset besar dan bagi hasil yang menguntungkan. Koperasi bisa berhasil jika dikelola dengan baik. Tidak adil jika kita menyalahkan koperasi, padahal banyak juga PT dan perusahaan besar yang gagal.
Apa pesan Anda kepada masyarakat Aceh?
Saya mendukung penuh niat baik Presiden Prabowo untuk membangkitkan koperasi sebagai fondasi ekonomi rakyat. Di Aceh, koperasi ini juga menjadi momen menghidupkan kembali ekonomi syariah. Ini momentum besar. MPU dan Dinas Syariat Islam perlu menyiapkan sertifikasi Dewan Pengawas Syariah agar tidak tergantung ke nasional yang biayanya mahal.
Koperasi bisa mengurangi pengangguran produktif. Bidan, apoteker, akuntan, dokter, bisa terserap di desanya sendiri. Ekonomi mandiri akan melahirkan desa mandiri. Dan Aceh, insyaAllah, akan maju dan sejahtera.