Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.24 tahun 2007, bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Terdapat beberapa jenis bencana, yaitu bencana alam, non-alam dan bencana sosial. Salah satu bencana yang pernah dihadapi masyarakat Aceh adalah bencana alam berupa tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor (Undang-Undang Dasar Republik Indonesia No. 24 tahun 2007).
Tsunami Aceh diawali dengan gempa berkekuatan 9.1 SR yang memecah bentangan garis patahan sepanjang 900 mil tempat lempeng tektonik india dan Australia bertemu. Gempa tersebut menyebabkan dasar laut naik setinggi 40 meter dan memicu tsunami besar. Gempa yang terjadi ini merupakan salah satu gempa terkuat (Fadhillah, 2022).
Tsunami Aceh menyebabkan banyak kerugian. Kebutuhan air bersih menjadi meningkat. Rumah setempat hancur sehingga masyarakat tidak lagi punya tempat tinggal. Masyarakat tidak memiliki baju bersih serta makanan dan minuman bersih. Banyak anak dan remaja yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya dikarenakan masih belum dapat kembali ke kehidupan normalnya. Selain itu, tsunami Aceh menyebabkan banyaknya korban jiwa, baik yang teridentifikasi maupun korban yang tidak dapat diidentifikasi. Banyak masyarakat yang mengalami luka dari ringan hingga berat. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat mengalami ketakutan, kecemasan, dan kesedihan yang sangat dalam. Para korban tsunami yang terkena dampak secara langsung menunjukkan gejala kecemasan, depresi dan PTSD, serta gejala lainnya yang berkaitan dengan trauma (Fadhillah, 2022). Kehilangan banyak hal dalam sekejap bukanlah hal yang mudah, terutama bagi korban yang mengalami bencana itu sendiri. Tidak mudah untuk menerima keadaan, tidak mudah untuk beradaptasi dengan hal seperti ini.
Salah satu cara masyarakat Aceh dalam menghadapi situasi ini adalah dengan menggunakan strategi coping. Coping adalah suatu proses usaha untuk mempertemukan tuntutan yang berasal dari diri sendiri dan lingkungan, meliputi semua bentuk upaya dan pikiran yang dilakukan individu dalam menghadapi stress atau masalah yang dihadapi. Tindakan yang diambil seseorang untuk mengatasi masalah yang dihadapinya disebut dengan strategi coping. Secara garis besar, strategi coping dapat diartikan sebagai tindakan atau perilaku yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalahnya dengan cara mempertemukan tuntutan yang ada dengan kemampuan atau sumber daya yang dimilikinya (Fadhillah, 2022). Strategi coping yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Aceh untuk kembali bangkit dari trauma yang mereka alami adalah religion focus coping yaitu menggunakan fungsi-fungsi agama dalam memulihkan kondisi psikologis dalam keadaan sulit. Masyarakat Aceh melakukan coping ini melalui sholat, berdzikir, membaca Al-Quran, bersyukur, sabar serta percaya bahwa kesulitan adalah ujian dari Allah (Safarina & Suzanna, 2020).
Penulis : Salsabila Yumna, merupakan mahasiswi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala
Referensi
Safarina, N, A., & Suzanna, E. (2020). Gambaran resiliensi masyarakat Aceh setelah mengalami pengalaman traumatis. Jurnal Psikologi Terapan, 3(1).
Fadhillah, R. (2022). Strategi coping penyintas bencana alam (studi kasus pada dua orang penyintas tsunami Aceh 2004 yang kehilangan keluarga inti) [Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta].