Pagi ini, Sabtu 15 Januari 2023. Mood ku kurang bagus hari ini. Dari mulai bangun pagi yang malas-alasan. Ditambah dengan beban pikiran yang seharusnya gak aku pikirkan. Tapi ku hela nafasku dan berjalan keluar kamar.
Seperti biasa, sebagai seorang cat lovers aktivitasku dipagi hari adalah membersihkan dan memberi makan majikan yang jumlahnya sudah tidak bisa dihitung dengan jari tangan, harus ditambah dengan jari kaki. Jangan tanya, entah dari antah berantah mana mereka semua, tanpa ku sadari jumlahnya sudah lebih banyak dari ku fikir bahkan pernah sampai lebih dari jari jumlah jari kaki dan jari tangan. Tapi ya sudahlah, anggap sedekat dan membantu sesama makhluk ciptaan Allah.
Karena hari ini jadwal camping malam Minggu yang akan dibuat oleh teman-teman komunitas Aceh Bergerak di Krueng Jalin, Jantho, Aceh Besar, aku dapat tugas membeli ayam untuk dibakar. Sebagai acara puncak di hari Minggunya, aku juga harus membeli buah Nangka muda atau dalam bahasa Aceh Boh panah. Padahal aku sering menyebutnya gori untuk Nangka muda, tapi kebanyakan teman-temanku tidak tahu bahasa itu.
Aku pun pergi berdua dengan sahabat ku. Di terik panas dengan perut kosong dan badan bau karena memang belum mandi, ditambah dengan jacket favorit ku yang berwarna merah dan berukuran super XL membuat aku semkin gerah.
Sekitar 10 menit dari rumah, sampai di pasar tujuan kami adalah pasar ayam. Aku dibekali uang Rp.300 ribu untuk membeli semua keperluan. Ayam, nangka dan bumbu. Harga saru ekor ayam ditawarkan Rp.65 ribu,aku menolak. “Mahal sekali,” fikirku. Mereka menawarkan harga segitu untuk ikutan besar, lalu aku berfikir sejenak, diam. Abang penjual ayam lalu menawarkanku yang lebih kecil.
“Ini Rp.55 ribu,” katanya.
Dengan cepat aku menjawab. “Oke, 4 ekor bang. Belah 15 ya,”
“Untuk jualan ya?,” tanya abang penjuak ayam.
“Bukan untuk bakar ayam nanti malam,” kataku.
“Belah 14 ga boleh?,”Tawarnya. B
“Boleh,” sahutku dengan cepat.
Si abang tukang ayam lalu memutilasi ayam itu dengan cepat dan teratur. Sudah pro sepertinya.
“Bang, cekernya masukkan ya,” pintaku.
Lumayan bila aku jadikan sop ceker untuk diriku sendiri. Lagian, siapa yang suka ceker, kebanyakan dari orang yang ku kenal mereka tidak suka ceker dengan alasan jijik, jorok dan bla bla bla. Terserahlah, bagiku.
Ya , aku tak pernah mempermasalahkan apa yang orang suka dan apa yang aku suka, yang aku pikirkan adalah yang penting aku melakukan yang ku sukai. Kecuali, aku suka dia, hiihihi.
Hampir 15 menit aku berdiri di sana menunggu abang tukang ayam selesai memutilasi ayam-ayam ku. aku pun langsung bergegas ke misi selanjutnya, yaitu berburu Nangka. Kenapa harus diburu? Karena Nangka muda belakangan hampir sama kayak jodoh sih, ada sebenarnya tapi susah dapetinnya, sering bersembunyi.
Karena jarang bahkan tidak pernah beli nangka, aku berinisiatif untuk berkeliling naik motor ke belakang pasar, aku bilang pada sahabatku bahwa di blkang masih ada pasar dan mungkin ada yang menjual Nangka muda.
Sudah sekeliling pasar ku lewati tapi tak terlihat wujud Nangka muda di mataku. Aku memutuskan untuk mencarinya di dalam pasar, di pasar sayur. Memarkir motor, berjalan ke dalam menyusuri semua lorong-lorong kecil diantara barang yang dijajakan. Mata kami tak henti berkeliaran ke sana kemari untuk mencari Nangka muda yang sesekali salah antara Nangka dan Sukun.
Teman ku pun bertanya pada seorang pedagang, mereka menunujuk ke arah pedagang lain, kami berjalan ke arahnya dan ya, habis. Kami diarahkan lagi ke penjual lain dan ya, habis. Hingga ku rasa hampir seisi pasar ku cari tidak ada. Aku melihat seorang penjual nNngka dan bertanya mungkin dia menyimpannya. Tapi masih tidak ada, akhirnya aku lelah dengan drama Nangka, hingga seorang penjual menunjukkan satu pedagang, ibu-ibu. Aku pun berjalan ke arahnya da bertanya. Alhamdulillah ada.
“Berapa kilo?,” tanya si ibu.
“Seklilo berapa buk?” aku melontarkan pertanyaan.
“Rp.10rb udah mahal sekarang,” jelas si ibu.
Aku melihat potongan nangka putih di dalam baskom, tidak banyak mungkin tidak sampai sekilo. Lalu si ibu menunduk dan mengambil potongan Nangka muda di bawah meja jualannya.
“Kalau satu buah berapa buk,? Tanyaku lagi.
“Kalau satu buah udah mahal, dek. Saya ambil Rp.25 ribu satunya.
“ Boleh buk, satu buah aja, boleh dipotong sekalian kan bu,?”.
“Boleh,” katanya.
Si ibu pun langsung mengambil satu buah lagi yang masih utuh. Ia mengupas kulit Nangka dan memotongnya lebih kecil lalu di masukkan dalam ember hitam berisi potongan lainnya serta terisi air. Lalu ia memotong setengah lagi dari buah yang utuh. Setelah semuanya hampir selesai di potong, aku berfikir seperti membeli lebih banyak akan lebih bagus, toh nanti akan ada banyak orang yang makan. Maka aku memutuskan untuk membeli semua Nangka yang ada di sana.
Sambil memotong Nangka muda, aku merekam aktivitas di ibu, untuk sekedar dokumentasi yang nantinya akan aku jadikan status whatsapp hari ini. Sambil bertanya-tanya dengan si ibu, aku merasa si ibu lumayan asik untuk diajak ngobrol, aku bahkan tidak memperdulikan temannya yang ternyata sudah duduk di kursi milik pedagang lain di belakanngku.
Sesekali terlintas di fikiranku, saying sekali ibu ini sudah tua mungkin umurnya sudah kepala lima (50 tahunan) tapi harus berjualan di pasar dengan berbagai macam bentuk manusianya dan juga lelahnya aktivitas setiap hari.
“Ya Allah, limpahkanlah rezeki bagi mereka yang mencari rezeki halal di jalanmu, berilah mereka kekuatan dan kesehatan. Dan limpahkanlah rezekimu kepadaku, sehingga aku bisa membahagiakan kedua orangtuaku dan memberikan mereka yang terbaik,”. Doaku dalam hati.
Biasanya aku bukan tipe orang yang suka ingin tahu tentang orang lain. Tapi setiap kali berbelanja hal yang aku senangi adalah bertanya tentang para pedagang, tapi tidak semua pedagang. Hanya mereka-mereka yang aku rasa mudah dan akrab untuk diajak berbicara, tidak terlalu berdrama. Terkadang ada hal menarik yang kita tahu dari hidup orang lain, juga sebagai pengajaran untuk hidup kita. Salah satunya si ibu yang ternyata berasala dari Blang Bintang, Aceh Besar.
Selesai memotong dan memasukkannya dalam plastik. Si ibu lalu menimbangnya. Lima kilogram. Si ibu lalu menyerahkannya padaku. Aku pun bertanya berapa harga keseluruhannya. Rp.45 ribu untuk seluruhnya.
Aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan uang Rp.50 ribu. Lalu ku berikan pada si ibu.
“Nyoe mak, hana payah neu peubalek lee beuh,” kataku.
Si ibu terdiam. Aku pun hampir terdiam. Bukan itu expresi yang aku harapkan. Biasanya orang-orang hanya akab berkata terima kasih dan memasukkan uang itu ke tumpukan uang lainnya. Tapi si ibu masih terdiam sambil memegang uang.
“Nyoe..”
“Nyoe Rp.45 ribee kan mak, nyan hana pue cok keu mak mantong,” kataku.
“Makasih neuk beuh,” katanya.
Aku pun pergi sambil berpamitan padanya. Bagiku mungkin uang itu tidak seberapa tapi bagi orang mungkin sangat berarti. Kita tidak tahu mungkin apa yang menurut kita biasa saja justru sangat berharga bagi orang lain.
Aku bukan mau pamer tentang apa yang aku beri, toh itu juga bukan uang pribadi tapi uang bersama, jadi itu sedekah bersama. Intinya adalah bagaimana menghargai hal-hal kecil di sekitar kita.
Cukup sekian cerita perjalanan drama hidup membeli ayam dan Nangka. Setidaknya berkat kejadian itu dann bertemu dengan orang-orang membuatku melupakan kesemrautan kepalaku. Padahal, mungkin mereka semua memiliki masalah masing-masing di kepala mereka. Tetaplah bersyukur dan membuat siapa saja tersenyum.
Penulis adalah seorang scriptwritter yang aktif dalam membuat film budaya dan wisata.