AcehAsia.com | Banda Aceh — Artis senior sekaligus produser film lokal, M Insya atau yang lebih dikenal sebagai Bang Prak, dan sutradara muda Raja Umar angkat suara menanggapi rencana kolaborasi film antara Indonesia dan Turki yang digagas oleh Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, Minggu (13/4/2025)
Dalam kunjungannya ke Ankara, Turki, Fadli Zon mengusulkan proyek film sejarah yang akan mengangkat hubungan erat antara Kesultanan Aceh dan Kekaisaran Ottoman sebagai bentuk diplomasi budaya. Proyek ini direncanakan menjadi produksi bersama antara Indonesia dan Turki, dengan fokus pada warisan sejarah dan nilai-nilai persahabatan antarbangsa.
Bang Prak, yang telah lama berkiprah dalam dunia hiburan Aceh sebagai musisi, aktor, dan produser film seperti “Ajarkan Aku Aceh”—sebuah film edukatif tentang mitigasi bencana—menyambut baik rencana tersebut, namun juga mengkritik stagnasi sektor kreatif Aceh di tingkat lokal.
“Selama ini sektor kreatif Aceh mandul, bukan karena kurang talenta, tapi karena kurangnya dukungan nyata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Akses untuk berkarya masih terbatas pada kalangan tertentu. Kalau benar-benar mau hidupkan perfilman Aceh, harus ada ruang yang setara dan terbuka,” ujar Bang Prak.
Sementara itu, Raja Umar, sutradara film “Surat dari Ahmad” yang mengisahkan lada sicupak dan diplomasi Aceh–Turki, juga memberikan tanggapan positif. Film besutannya sebelumnya didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI melalui program Indonesiana.tv, namun kini program tersebut malah tak bergumam lagi. sejak perubahan kepemimpinan.
“Kami menyambut baik inisiatif Pak Menteri. Film Aceh–Turki adalah ide luar biasa. Tapi kami berharap proyek ini tidak hanya melibatkan sineas nasional dan luar negeri, tapi juga mengajak pelaku film Aceh terlibat langsung, dari penulisan, riset, hingga produksi,” kata Umar.
Pun demikian, Kedua seniman lokal ini menilai bahwa rencana-rencana seperti itu terkesan hanya omon-omon saja. Berharap, Kemendidbut menjadi tonggak kebangkitan ekosistem perfilman yang inklusif, produktif, dan berkelanjutan.
“Kalau pusat sudah mulai melirik sejarah Aceh, masa daerahnya sendiri malah tertinggal? Kita harus bergerak bersama,” tutup Bang Prak.
Bang prak juga mengkritisi dinas kebudayaan dan pariwisata Aceh. Dia menyebutkan bahwa sektor kreatif di Aceh saat ini masih “mandul”, terutama karena minimnya dukungan nyata dari instansi terkait.
“Selama ini, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh terkesan pasif dalam membina insan film lokal. Akses terhadap program dan fasilitas hanya terbuka untuk kalangan tertentu, bukan untuk semua seniman yang punya kapasitas. Padahal seharusnya, dinas menjadi rumah bagi semua pelaku budaya dan film. Cet Langet jangan jadi seremonial saja,”tegas Bang Prak.
Para seniman dan pelaku film Aceh berharap agar momentum “omon-omon” ini tidak sekadar menjadi slogan, melainkan menjadi titik tolak nyata dalam pengembangan industri kreatif Nasional dan khususnya Aceh yang inklusif dan berdaya saing.[]